HotBuku

Cinta Untuk Nada
4.3
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

Perlahan mata itu terbuka. Nada berada di sana, di samping seorang pria yang telah berbulan-bulan mengalami koma. Mungkin ini yang sering disebut dunia sebagai kesetiaan.

Namun, kesetiaan seperti apa yang dunia maksud? Haruskah ada luka menganga yang harus diterima sebuah hati yang senantiasa mendoa, berharap dia yang tersimpan di sepanjang kisah perjalanan hidup menemukan titik bahagia. Tersenyum seperti biasa.

Siapa yang tahu? Nada dahulu amat pandai sekali bersandiwara. Lincah wajahnya bermain peran. Padahal hatinya? begitu gersang, kering, penuh ketakutan. Bayang-bayang masa lalu menghiasi hari-hari Nada. Tinggal bersama, hidup dalam pertarungan melawan diri sendiri. Sesuatu yang dibenci dalam dirinya hidup tanpa diminta.

Tak seorangpun ia biarkan menyentuh pertarungan itu, tak seorang pun. Hingga, orang yang telah terbaring itu, memberikan Nada cara untuk menang. Tapi badai seketika menghantam tubuhnya begitu keras. Seperti sebuah batu yang dilemparkan ke arah hati, Nada tidak dapat menghindar dan karena itu hanya sakit yang terasa.

Nada terpelanting jauh menghadapi realitas yang ada. Realitas kehidupan yang menguras habis tenaga dan perasaan.

***

Jendela kamar terbuka lebar. Cahaya matahari dibiarkan begitu saja masuk tanpa permisi di antara celah kaca yang tidak tertutup korden. Aroma bunga yang mulai bermekaran mulai mengusik indra penciuman, membuat diri yang masih bergelayut malas di tempat tidur segera bangkit tanpa paksaan.

Sambil bergumam kecil dan bersenandung pelan Nada melangkah ke teras rumah, mendapati bunga anggrek kesayangan berayun dengan rumah sabut tempatnya bergantung. Nada hanya tersenyum kecil dengan dua tangan memegang pagar kayu berlapis plitur bening, menunjukkan keaslian kayu itu. Lantas pandangannya kali ini mengarah di depan. Terdapat hamparan taman luas dengan beraneka macam bunga dan beberapa tanaman obat-obatan. Hal yang paling ia suka adalah bercengkrama dengan bunga yang mulai bermekaran di saat matahari menunjukkan sinarnya.

Sejuk terasa, perlahan mata Nada memejam, merasakan setiap harmoni yang hadir di sekelilingnya. Ternyata benar kata orang, udara pagi pedesaan sangat baik untuk kesehatan.

“Selamat pagi violet,” sapa Nada pada anggrek yang bergoyang dengan ujung jari-jari panjangnya memutar sabut kelapa yang menjadi rumah bagi sang anggrek.

“Sudah bangun?” Nada menoleh dan mengangguk kecil saat mendapati ibunya meletakkan teh hangat di atas meja kemudian memasukkan tangannya pada sarung tangan putih yang cukup tebal. Pasti sang ibu sedang bersiap untuk membersihkan taman, terlihat dari sebilah aret yang sedang ia pegang sesaat setelah memakai topi lebar. Ibu terlihat seperti akan berlibur ke pantai.

“Ada tanaman baru?” Tanya Nada memecah kesibukannya yang sedang membuang daun-daun mati pada anggrek-anggrek yang bergantungan di teras rumah.

“Sepertinya ada. Beberapa minggu yang lalu ibu dapat tanaman pemberian tetangga. Tapi, entahlah! Setelah ibu tanam, belum ada tanda-tanda akan berbunga.” jawab ibu Nada setelah menghentikan aktivitasnya memakai sarung tangan karena melihat Nada yang sudah berada di sampingnya, jemari gadis itu sudah bersiap untuk mengambil sarung tangan yang sama dengan ibunya.

“Kau sarapan dulu, itu ibu sudah buatkan kue kesukaanmu.” Tunjuk ibu dengan mengarahkan pandangannya pada meja yang berada 3 meter di belakang mereka. Meja kayu bundar setinggi pinggang orang dewasa dengan sentuhan plitur menambah suasana nyaman berada di rumah ini.

“Hmmm,” Nada hanya bergumam pelan, lantas segera berlari kecil menuju meja. Semakin cepat ia menghabiskan sarapan, maka semakin cepat pula ia menyusul sang ibu di taman. Lihat itu, sang ibu sudah sibuk dengan aneka warna bunga disana. Membuat Nada tidak tenang dengan sarapannya.

Tak sabar ingin segera ikut menyelamkan diri di antara hamparan bunga. Entahlah! Nada teramat menyukai bunga. Mungkin, karena bunga adalah satu-satunya teman setianya sejak kecil. Teman yang selalu ada baginya. Ketika semua luka menyiram jiwa kecilnya bersama denting waktu.

Baginya bunga adalah separuh jiwanya.

Selang beberapa detik Nada sibuk dengan pikirannya, gadis itu kemudian berlari ke taman yang cukup luas, di pekarangan rumahnya yang telah disulap menjadi taman bunga. Tangannya menyentuh ujung-ujung daun dan bunga yang mulai bermekaran. Ada senyum tipis terlukis di bibir merah jambunya yang kecil itu. Pandangannya menyebar, melihat satu persatu pohon-pohon bunga setinggi lutut hingga pinggangnya. Seperti warna pelangi. Warna-warni bertebaran sejauh mata memandang. Ada warna pink, keunguan, kuning, orange, merah hingga putih. Sesekali gadis itu menepis-nepiskan jarinya karena mahkota bunga masih menyimpan sisa-sisa embun.

Kerudung coklat muda polos dan gamis senada yang dikenakannya ikut basah. Seolah tidak jera, kakinya masih saja melangkah, mengitari taman, bernyanyi, bersiul. Suasana hatinya begitu baik pagi ini seperti cerahnya matahari yang mulai menyentuh keningnya.

Tidak berhenti. Tubuh gadis itu lincah berjalan di antara hamparan bunga. Bola matanya yang bulat seketika berhenti. Pandangannya sekarang mengarah pada satu bunga yang begitu kecil di tengah tumpukan ranting-ranting patah. Ia menyingkirkan ranting-ranting itu dan membuangnya sejauh mungkin.

“Kau menghalanginya tumbuh!” gerutunya pada ranting yang telah ia singkirkan. Sesaat setelah ranting itu dibuang, sebuah tangkai berusaha untuk kembali berdiri tegak meskipun tidak sepenuhnya tegak namun perlahan menunjukkan diri bahwa ia adalah bagian satu dari kawanan bunga yang lain.

Bunganya hanya ada satu, bergerak pelan karena tiupan angin, seakan ingin menyampaikan bahwa akhirnya ia dapat tumbuh bebas kali ini. Penghalangnya terlah disingkirkan. Mahkotanya nampak cantik berwarna putih bercampur warna merah muda, sangat muda. Siapapun memandangnya pasti akan tersenyum.

“Kasihan sekali, apakah kau begitu tersiksa karena ranting-ranting itu?” ujung jari Nada mengusap lembut mahkota sang bunga dengan wajah prihatin.

“Baiklah. Mulai sekarang, aku akan sering-sering mengunjungimu disini. Oke! jadi kau tak perlu sedih lagi,” ucapnya kemudian, menampakkan kembali senyum manisnya. Senyum yang memperlihatkan cacat menawan dikedua belah pipinya.

“Nada, cepat kemari!” terdengar teriakan Ibu memanggil Nada yang membuat gadis itu memalingkan pandangannya dari sang bunga. Sebelum pergi, tak lupa ia berpamitan pada bunga yang akan diberinya nama “Sakura.”

“Baik Bu, tunggu sebentar!” jawabnya sambil berlari di tengah-tengah taman. Ia mengikuti gerak-gerik ibunya yang sibuk memotong-motong rumput yang mulai meninggi di sekitar taman. Rumput itu akan mengganggu pertumbuhan bunga-bunga mereka.

“Sudah selesai perbincanganmu dengan mereka?” ucap ibu Nada tanpa menatap lawan bicaranya. Tangan tua itu masih lincah menggerakkan aret, memangkas paksa rumput-rumput nakal. Nada mengangkat bahunya, kemudian ikut berjongkok sambil terus mencabut rumput. Dia tak seahli ibunya menggunakan aret, tangannya selalu lecet. Tapi, selalu saja dia suka memaksa menggunakan, tapi kali ini ibunya mengambil alih. Jadilah ia menggunakan tangan kosong mencabut rumput yang masih berukuran lebih kecil.

“Tak satupun terlewatkan! Bahkan Nada dapat anggota baru, Bu. Namanya Sakura!” jawab Nada mantap. Ibu Nada menggeleng pelan. Setidaknya di antara bunga-bunga itu Nada tidak terlihat berbeda. Dia sama seperti yang lainnya, begitu batin seorang ibu membela.

Bunga adalah permisalan sebuah cinta

Diberi hati kecil ketika gundah

Bunga adalah sari perasaan

Menyimpan segala jeri dan membekukan

Mengukir segaris senyum pada bibir si gadis kecil

Pada bunga cita diutarakan

Pada Bunga harap disampaikan

Pada bunga tangis tersandarkan

Pada bunga tawa nampak menawan

Karena semua bunga adalah jalan pulang

Bunga adalah rumah yang nyaman

Bunga adalah rumah yang tenang

Bunga adalah rumah yang menentramkan

Selimut kala dingin menggegorogoti tulang

Payung kala hujan menyiram tanpa ampun

Atap kala panas menjadi teramat terik dan menyilaukan

Maka, sedikit luka menjadi biasa

Maka, banyak luka tak juga berarti patah

Pada hati tertata baja

Perlahan kuat tertempa masa

Perlahan hidup tertuju jua

Kemana langkah, kemana akan dibawa

Melewati bilah-bilah takdir tak terbaca

Hanya saja hidup telah menemukan kembali

Tak berjalan pada onggok daging tanpa kesadaran diri

Hidup tak lagi merutuki

Hidup kini adalah sebuah arti yang telah dimengerti

Langit hari ini bersih, hanya tampak biru sejauh mata memandangnya. Tidak ada satupun garis awan yang menghalangi. Tidak ada pula kepakan sayap-sayap burung yang mengangkasa. Seorang gadis sedang asyik memainkan kakinya yang menggantung ketika duduk di kursi halte. Kali ini ia akan naik bus menuju salah satu kampus swasta yang ada di Jakarta. Sesekali tatapannya tertuju pada jalan yang masih tidak ada tanda-tanda bus akan mendekat. Kembali ia menggoyang-goyangkan kakinya sambil menoleh kanan kiri menatap satu, dua orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Rasa bosan mulai menjalari benaknya. Benarlah bahwa menunggu itu suatu hal yang sangat membosankan. Gadis yang sudah merasa bosan itu adalah Nada.

Nada melihat lagi badan jalan, kali ini dia sedikit bernafas lega, bus yang ditunggu akhirnya mendekat. Saat berhenti ia segera naik dan duduk di samping jendela bus. Bus itu sangat lengang, beberapa penumpang yang duduk terlihat menikmati perjalanan. Hanya sesekali hal itu dapat dirasakan, karena biasanya penumpang harus ikut berjejal dengan para penumpang lain. Nada melirik jam tangannya. Kuliah tambahan hari ini dimulai pukul 11 siang. Professor Fadhil meminta perpindahan jadwal karena ia akan berangkat keluar kota untuk menghadiri seminar Anak Berkebutuhan Khusus sekaligus mendampingi pembicara Professor Koyoto Fujikawa dari Tokyo, Jepang.

Beberapa mahasiswa hanya dapat menggerutu dalam hati. Jadwal yang telah disusun untuk pergi ke mall, main futsal, jalan-jalan ke taman hiburan, pergi ke toko buku mencari komik keluaran terbaru atau bersantai ria di beranda kos bersama penghuni kos-kosan yang sedang bebas dari tugas kuliah harus segera dihapuskan. Ada yang menggigit jari mereka patuh tanpa perlawanan. Semua demi masa depan yang lebih cerah, tentunya. Pantang bagi mereka absen untuk satu mata kuliah ini karena konsekuensinya nilai D tanpa ampun diberikan Professor yang terkenal dengan kedisplinannya.

Sedikit yang tahu, bahwa dibalik sikap dingin Professor Fadhil terdapat jiwa tanggungjawab yang besar. Baginya ilmu begitu penting untuk diajarkan, karena melalui ilmu yang bermanfaatlah kelak amalan seseorang tetap mengalir meskipun telah meninggalkan dunia. Karena itulah, ia selalu menyempatkan diri menyampaikan matakuliah kepada mahasiswanya.

Professor sudah cukup akrab dengan dunia kampus. Hampir separuh hidupnya dilalui dalam lingkungan itu. Dia juga tahu berbagai karakter mahasiswa serta dosen diberbagai tempat ia mengajar. Belajar dan mengajar merupakan satu paket yang didapatkannya selama berkecimpung dalam dunia kampus. Tidak ingin pengalaman buruk yang dialaminya saat kuliah dulu terulang pada mahasiswa, maka ia putuskan untuk merubah sesuatu. Tentang kedisplinan dan tanggungjawab. Kualitas seseorang terlihat dari sejauh apa dia mampu mendisiplinkan dirinya dan bertanggungjawab terhadap apapun yang ditugaskan kepadanya.

Selain itu, metode pembelajaran professor juga berbeda dengan dosen lain pada umumnya. Ia selalu membuat suasana kelas menjadi lebih hidup, aktif dan tidak monoton. Karena ia tahu suasana yang tidak menyenangkan akan membuat mahasiswa tidak bersemangat untuk belajar. Jangankan mahasiswa, dirinya saja tidak akan betah dengan susasana kelas yang terkesan angker.

Professor membuat kelas lebih hidup dengan melakukan diskusi. Diskusi ringan yang dimulai dari pembahasan bagaimana perjalanan menuju kampus. Setelah itu akan dikaitkan dengan materi perkuliahan. Seluruh mahasiswa diminta untuk berbicara. Professor membuat aturan dikelasnya. Diawal perkenalan professor mengenal karakter masing-masing mahasiswa. Saat sudah mengenal, kemudian ia membuat daftar nama mahasiswa yang paling pendiam hingga mahasiswa yang paling suka bicara. Mahasiswa paling pendiam menjadi pemeran utama dikelas. Professor akan banyak bertanya pada mereka yang pendiam. Sedang mahasiswa yang suka berbicara dibuat diam, tidak berkutik. Hanya pada saat tertentu saja mereka akan diminta bicara, tapi kapasitasnya sangat minim sekali. Tujuannya untuk melatih keseimbangan psikis. Yah, istilah itu amat sering diucapkan Professor agar mahasiswa terlatih mengungkapkan pendapatnya ketika diperlukan dan menjaga ucapan mereka ketika dirasa hal tersebut tidak penting.

Professor Fadhil memiliki ingatan yang sangat kuat. Nama dan kepribadian mahasiswa ia tahu secara berurutan. Karena sebelum berangkat mengajar ia akan mengecek kembali daftar nama mahasiswa. Tidak salah jika Professor dengan kacamata yang menggantung dihidungnya dan rambut yang mayoritas memutih itu mengenal satu persatu mahasiswanya. Dia akan menyebutkan nama mahasiswa yang kebetulan berpapasan dengannya. Sebuah kepeduliaan yang tersirat. Hanya dengan menyebut nama ketika mungkin orang lain tidak peduli ternyata mampu memberikan dampak positif bagi orang yang bersangkutan. Seseorang akan menganggap dirinya berharga sehingga pantas untuk diingat. Itulah maksud Professor bahwa setiap manusia itu berharga ketika ia menghargai dirinya sebagai manusia dan ada yang menghargai keberadaan mereka. Pantas, jika ia menjadi dosen yang disegani oleh seantero kampus.

Jarum jam menunjukkan pukul 10.45, hanya tinggal 15 menit lagi kelas Professor akan dimulai. Nada tidak boleh terlambat. Satu hal yang menjadi alasan agar tidak terlambat adalah menghindar dari tugas menjadi moderator dalam diskusi. Ditambah lagi sesuatu yang ada dalam diri Nada masih begitu sulit untuk ditaklukkan dan juga ia tidak memiliki cukup keberanian melawan. Karena itulah ia masuk area ini, di lingkungan yang berhubungan dengan perilaku dan kejiwaan seseorang. Menjadi salah satu mahasiswi psikologi bukan sepenuhnya menjadi tujuan tapi ia sedang mencari sebuah jawaban.

Langkah kaki Nada semakin cepat ketika memasuki kawasan kampus. Ia melihat sekeliling, tidak ada lagi wajah-wajah yang ia kenal. Pasti teman-temannya sudah berada di kelas. Nada terpaksa berlari melewati taman kampus yang sedang melukiskan keindahan alam. Hamparan rumput hijau nampak asri dengan tebaran keindahannya.

“Tidak ada waktu untuk terpesona Nada!” bisik hatinya. Gamis yang dikenakan Nada cukup lebar dan membuat langkahnya lebih leluasa, kerudungnya menjuntai panjang menutupi sebagian tubuhnya. Tidak peduli dengan angin yang menerpa dan membuat kerudungnya terbang berlawanan arah, ia terus berlari. Tinggal 5 menit lagi, tidak boleh terlambat, ia semakin mempercepat langkahnya.

Brakk…

Buku-buku berserak di lantai koridor kampus. Sekitar 20 langkah lagi Nada akan berada di dalam kelas. Tapi ia menghentikan langkahnya karena melihat seseorang yang terpeleset tepat di depan matanya. Wanita itu tampak terburu-buru. Nada membantunya berdiri. Beberapa buku masih berserakan di lantai.

“Mbak tidak apa-apa?” sambil berjongkok Nada merapikan buku yang berserakan. Wanita muda yang menggunakan kerudung biru langit dengan jas putih bertuliskan Aura Mirauela di sebelah kiri jas segera menepuk-nepuk pakaiannya. Terlihat debu beterbangan karena cahaya matahari memantul di lantai keramik putih itu.

“Iya, saya tidak apa-apa. Maaf, jadi merepotkan.”

Nada menggeleng.

“Tidak. Tidak merepotkan. Saya membantu sebisanya. Oh ya, sedang buru-buru?” Nada menatap wanita itu sekilas kemudian jemarinya sibuk merapikan laporan yang telah terkumpul di pangkuannya.

“Saya harus segera mengumpulkan laporan ini pada Professor Fadhil karena beliau besok akan keluar kota.” jawab Aura datar. Seketika tangan Nada berhenti menyimpun buku-buku itu, sepertinya ada yang mengganjal.

Nada menepok jidatnya. Dia baru ingat bahwa tujuannya masuk kelas Professor. Segera ia percepat gerakan tangan membereskan semua buku-buku itu dan menyerahkannya pada Aura yang memasang wajah bingung. Dilihatnya jarum jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 11 lewat 3 menit. Nada menggigit bibir bawahnya, mengeluh dalam hati.

“Nada bodoh!”

Di taman yang cukup luas dengan hamparan rumput hijau, juga berbagai tanaman hias dan tanaman obat-obatan sedang kedatangan tamu yang memiliki sepasang bola mata coklat. Seseorang ini sedang memperhatikan gerakan angin yang berlalu di belakangnya. Berlalu begitu cepat. Saat itu ia sedang sibuk mencari gelang pemberian ibunya yang terjatuh di antara rumput yang cukup tinggi, mata coklat itu menangkap seorang gadis yang berlari-lari di tengah lapangan. Awalnya ia tak menggubris, tapi saat angin menerpa kerudung gadis itu, wajahnya terlihat, lesung pipinya yang dalam, bulu matanya yang cukup panjang, dan pipinya yang kemerahan. Angin seperti berhenti, tergantikan oleh hatinya berdesir hebat, sepertinya angin itu kini berhembus dalam dirinya, menyatu dalam aliran darahnya. Sensasi itu membuat sepasang mata coklatnya berbinar dan seutas senyum terbit begitu saja.

Di antara berjuta anak manusia, tidak ada yang tahu pasti menjadi seperti apakah mereka dimasa depan. Mereka hanya mencoba merangkai mimpi. Mimpi yang digapai dengan jalan perjuangan masing-masing. Tidak ada yang pasti. Karena semua dapat berubah begitu saja, hatipun dapat berubah. Siapa yang mampu mengubahnya? Siapa yang mampu membolak-balikkannya? Waktu selalu menyimpan banyak misteri yang nantinya anak-anak manusia harus rela menyibak satu demi satu tabir yang masih tertutup dengan rapatnya.

Langit masih terbentang luas dengan warnanya yang mulai pudar. Telah hilang warna biru bersih yang terlihat tadi. Awan-awan mulai berarak menutupi. Berubah bentuk terbawa angin dan mendatangkan awan yang lain. Tidak ada yang sama bukan? meski dihari yang sama. Langit tetap menjulang tinggi. Tidak menghilangkan keindahannya tapi pesonanya kian memudar oleh perputaran waktu yang menggantikannya. Meski begitu ia tetaplah menjadi saksi bisu perjalanan sebuah cinta anak-anak manusia. Sebuah cinta yang berdasar pada banyak hal. Atas nama harta, nafsu, kekuasaan, paras, popularitas atau atas berbagai istilah lain yang ada di luar sana?

Nada mengetuk pintu yang telah tertutup rapat. Pelajaran telah dimulai oleh Professor. Nada mencoba bersikap tenang, berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Terlihat Professor menghentikan aktivitasnya di depan kelas, memperbaiki letak kacamatanya sambil memicingkan mata, memandangi daun pintu yang menyisakan bunyir berderet. Diperhatikannya gadis yang perlahan-lahan membuka pintu. Dia menggeleng melihat Nada yang datang terlambat.

“Mengapa terlambat Nada?” suara besar Professor Fadhil menguasai ruangan. Menyisakan suasana kelas yang lengang, seperti tidak memiliki penghuni, semua mahasiswa di kelas diam bahkan ada yang menghentikan aktivitasnya yang sedang memainkan pulpen untuk menghilangkan kebosanan.

“I…itu Proff!” suara Nada bergetar, dia garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lidahnya begitu kelu untuk membuat alasan. Karena tak pernah ada alasan yang berhasil lolos jika dihidangkan pada Profeesor Fadhil. Selalu saja ada jurus jitu menjatuhkan pertahanan mahasiswa penggemar lalai. Ahh, Nada benar-benar bingung membuat alasan.

“Prof, boleh saya sedikit ikut campur?” Professor memperbaiki letak kacamata dan tatapannya tertuju pada seorang pria tepat beberapa langkah saja di belakang Nada. Mahasiswa yang ada dikelaspun mengikuti arah pandangan dosennya, Nada masih tidak bergeming melihat Professor memandang dirinya dan pria di belakangnya bergantian. Pria dengan wajah datar dan pandangan tajam perlahan melangkah. Nada memberanikan diri menoleh, rasa penasaran dalam dirinya bekerja begitu keras dan tubuhnya harus segera merespon.

“Apa yang dia lakukan? dia menghampiriku?” batin Nada sibuk mengomentari gerakan pria aneh yang berjalan semakin dekat padanya. Nada menahan nafas saat pria itu dengan beraninya berhenti 30 centi dari posisinya kemudian berlalu di samping Nada.

“Dia menolong seseorang, Prof.” Pria dengan penampilan kasual dilengkapi kacamata tebal itu berjalan santai semakin dekat pada lantai pijakan Professor. Seisi kelas mendadak ramai oleh bisik-bisik para mahasiswa. Nada menghembuskan nafasnya kesal. Masih tidak percaya dengan perlakuan tidak sopan pria yang ada di hadapannya.

“Maaf Prof, saya ikut campur terlalu jauh. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya.” Pria itu kini berada di sebelah kiri Professor, terlihat dia mendekatkan kepalanya pada daun telinga Professor Fadhil yang terkenal killer namun nampak mengangguk-angguk pelan. Sepertinya pria itu menyampaikan sesuatu, Professor terlihat menganggukkan kepala kemudian memberikan sebuah tas hitam.

Nada memicingkan matanya. Memperhatikan lekat-lekat pria yang sedang berbincang di depan sana. Santai sekali wajah pria itu, seakan berjumpa dengan kawan lama. Selang beberapa detik pria itu membalikkan tubuhnya menuju pintu keluar. Tapi sebelum itu ada yang harus ia lewati, seorang gadis yang sedang berdiri kaku dekat dengan pintu keluar.

Pria itu melewati Nada yang masih mematung di tempatnya berpijak. Lagi, Nada menahan nafasnya, bukan karena kesal tapi kali ini dia dapat melihat dengan jelas wajah pria yang berani memotong pembicaraan Professor. Nada tidak pernah melihat wajah setampan itu. Nada memperhatikan jemarinya, tidak terlihat tanda-tanda seperti biasanya. Ada yang aneh, Nada seperti mendengar sesuatu yang berpacu begitu cepat.

“Ada apa dengan jantungku.” bisik Nada pelan. Dia menggigit bibir bawahnya saat meletakkan tangan di dada, memastikan bahwa yang ia dengan adalah benar detakan jantungnya sendiri. Nada menggeleng-gelengkan kepala, membuang segala bentuk pikiran-pikiran aneh.

“Tidak perlu berterimakasih, aku tidak bermaksud menolongmu.” setengah berbisik pria itu berhenti di samping Nada. Nada terhenyak mendengar kata-katanya.

“Ilyas!”

Panggilan professor membuat pria itu membalikkan tubuh.

“Ya, Prof?”

“Terimakasih. Saya lupa menyampaikannya.” Ilyas mengangguk kecil dan mengangkat jempolnya. Pandangannya kini kembali melihat Nada yang diam seperti patung. Nada tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Tiba-tiba datang dengan seringai menakutkan, berbicara yang tidak masuk akal, tatapan matanya? Tunggu! Kenapa tatapan itu terus mengikuti gerak-gerik gadis yang semakin kaku berdiri di tempatnya tanpa suara. Nada mendengus kesal.

“Berusahalah mengendalikan dirimu. Kau mahasiswi Psikologi, bukan?” Nada yang sedari tadi menghindar dari tatapan Ilyas dan hanya memperhatikan sepatu dan lantai keramik putih yang ia pijak mengangkat kepalanya dan menoleh pada pria yang tersenyum mengejek padanya. Nada tidak habis pikir, Pria ini berani sekali mengusiknya. Kedua tangan gadis itu mulai mengepal menunjukkan urat-urat juga buku-buku jari yang mengeras.

“Duduklah Nada, kuliah akan segera saya mulai!” pandangan Nada beralih pada Professor yang menatap mereka berdua. Tanpa sepatah kata, dia berjalan menuju kursinya, meninggalkan Ilyas begitu saja. Gadis itu tidak peduli. Sedang Ilyas berlalu dengan senyum yang semakin mengembang hingga tubuhnya menghilang di balik bingkai pintu.

Suasana kelas tiba-tiba menjadi rusuh. Beberapa mahasiswi berbisik satu dengan yang lainnya. Decak kagum menggema di langit-langit kelas.

“Keren banget” ucap Denita, gadis modis dengan bibir berwarna merah cerah. Senyumnya masih saja mengembang membuat pipinya semakin bersemu. Bagaimana tidak? Penampilan Ilyas seperti matahari yang dilemparkan begitu saja ke pangkuannya. Tinggi profosional, kulitnya putih seperti kulit gadis yang sangat terawat, apalagi dengan sepasang manik matanya yang berwarna cokelat dan dilindungi kacamata Marion hitam dengan sentuhan tipis garis-garis putih. Terlihat sangat mempesona. Tentu saja, wanita mana yang tidak terpesona. Termasuk Nada, tapi itu hanya di awal. Baginya, pria itu terkesan angkuh, sok hebat dan menyebalkan. Masih jelas teringat seringaian pria itu, jelas mengejek dan merendahkannya.

“Bener Nad, apa yang dikatakan pria tadi?” suara Vira membuyarkan lamunan Nada.

“…” tidak ada jawaban, hanya ada anggukan kecil Nada dengan tangan sibuk mengeluarkan alat tulis. Vira termasuk salah satu gadis yang terhipnotis. Rasa penasaran membuncah dalam pikirannya. Nada beruntung sekali.

“Cerita dong Nad, gimana bisa ketemunya?” Rengek Vira. Nada memasang wajah datar tidak peduli. Pandangannya fokus ke depan, karena tatapan professor sedang mengarah pada mereka. Nada menulis sesuatu di atas kertas dan memberikannya pada Vira yang terus saja merengek seperti anak kecil minta jajan.

“Jika kau ingin tahu, sekarang perhatikan pelajaran Professor sebelum hukuman menulis 100 halaman istilah psikologi kembali diberikan padamu.” Vira memanyunkan bibirnya.