HotBuku

Cinta Untuk Laksmana
5
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

Seorang gadis memicingkan matanya yang silau terkena sinar matahari. Untungnya rimbun pepohonan menghalangi cahaya matahari yang hendak langsung memanggang tubuhnya. Dia berusaha bangkit dengan kepala yang masih berdering pusing. Ada dimana ini? Pikirnya linglung. Seingatnya dia berada di kantor,lalu... Oh! Dia jatuh di tangga! Tapi tempat dimana dirinya berada kini bukanlah kantor,melainkan hutan dengan rimbunnya pepohonan juga semak belukar.

Gadis itu bangkit,menepuk rok lipit hitam yang menutupi kaki hingga sebatas mata kaki. Matanya memandang ke segala arah,ini benar-benar hutan,apa aku diculik? Pikirnya kalut. Ketakutan mulai merayap kedalam hatinya,bagaimana jika dia tidak bisa pulang ke rumah?

Detik berikutnya,sebuah anak panah melesat cepat dan menggores lengan kanannya yang terbalut jas coklat susu itu. "Aw!" Pekiknya merasakan nyeri merambat dari luka yang menganga. Darah segar merembes dari luka itu,mengotori jas yang baru kemarin dia beli.

"Hei nona! Apa anda terluka!?!"pekikan penuh rasa khawatir membuatnya tersentak kaget. Saat dia berbalik tubuhnya limbung tidak seimbang.

Gerakan sigap dan cepat dilakukan pemilik suara yang terdengar khawatir tadi. Tubuhnya disangga oleh dua lengan kokoh,agar tidak terbentur menyentuh tanah.

Saat mendongak ingin melihat wajah penyelamatnya,gadis itu sedikit menyipit karena cahaya matahari lagi-lagi mengganggu pandangannya. Sejauh yang dia lihat,penolongnya merupakan pria dengan garis rahang yang tegas,hidung bangir,alis tebal juga bibir yang berisi. Kulitnya berwarna kecoklatan,sepertinya terlalu banyak terpapar sinar matahari. Rambutnya ikal sepunggungnya dibiarkan tergerai dan berkibar tertiup angin yang entah datang dari mana.

Hanya ada satu kata.

Tampan.

Tanpa berpikir lagi,mulut gadis itu lantas menyeletuk,"kamu tampan,"pujinya.

Laki-laki itu mengernyit,"anda orang gila ya?"tanyanya dengan intonasi menyebalkan. Apa!?!

Gadis itu merengut kesal,enak saja mengatai seorang gadis orang gila. Dia pikir dia siapa? Wajahnya akan gadis itu tandai satu laki-laki menyebalkan yang tampan sebagai musuhnya kali ini.

##

Kota pelajar, Yogyakarta. Siapa sih yang tidak akan rindu dengan kota penuh budaya serta kuliner ini? Penduduknya yang ramah juga penuh sopan santun,serta tak pernah absen dari kunjungan wisatawan asing. Destinasi kota Yogyakarta memang disuguhkan dengan keistimewaannya sendiri.

Pekat serta kental adat jawanya, Yogyakarta dikenal memiliki aura mistis terutama bagi yang masih memiliki hubungan dengan keraton alias kerajaan Jawa. Di Yogyakarta pula,pertunjukan wayang masih digelar,terutama di Bangsal Sri Manganti, keraton Yogyakarta. Meski eksistensinya tidak setinggi dahulu, pertunjukan wayang akan tetap digelar tiap minggunya.

Semua hal ini adalah satu satunya alasan seorang Larasati Arumita merindukan Yogyakarta,kota kelahirannya.

Matanya terpejam,membayangkan rumah bermodel pendopo yang akan dikunjunginya siang ini. Setelah sekian lama, Yogyakarta masih terlihat sama seperti di ingatan Laras terakhir kali,itu membuatnya tersenyum kecil.

Travel yang ditumpanginya memasuki area pedesaan yang ramai akan orang-orang desa yang berlalu-lalang. Kebanyakan diantaranya membawa cangkul. Tentu saja,ini pedesaan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.

Tak selang lama,mobil travel itu berhenti di depan sebuah pelataran rumah yang amat Laras rindukan. Senyumannya terkembang ketika melihat sosok tua yang sedang menyapu pelataran rumah. "Disini rumahnya neng?"tanya seorang kondektur travel pada Laras..

"Iya mang,kalau begitu saya turun dulu ya?"gadis itu bangkit dari duduknya. "Iya neng,mau saya bantu menurunkan barang-barang di bagasi neng?"tanyanya.

"Boleh mang, terimakasih ya."

Sosok tua yang sedari tadi sibuk menyapu pelataran kini akhirnya menoleh ketika menyadari ada seseorang yang akan menjadi tamunya. Mata tuanya melihat seorang gadis yang berdiri memunggungi sedang berterimakasih pada seseorang. Senyuman terukir di wajahnya yang kini dihiasi banyak keriput,cucunya sudah pulang.

Laras berbalik ketika merasa terus ditatap,senyuman lebar terukir manis di wajahnya. Ditentengnya tas hitam ukuran sedang miliknya dan berlari lah kakinya menghampiri sosok yang menjadi alasannya pulang.

Didekapnya erat tubuh renta itu oleh Laras,rasa rindunya kini malah semakin besar hingga membuatnya hampir menangis. "Kamu pulang nduk,"ucap sosok tua itu dengan nada serak yang haru.

Laras mengangguk,"iya eyang,Laras pulang."

Eyang mengurai pelukannya,"kamu kok ndak mengabari jika mau pulang?"tanya eyang protes.

Laras nyengir sembari terkikik kecil,"surprise!" Pekiknya dengan ceria.

Eyang hanya bisa menggeleng melihat kelakuan cucu perempuannya ini. "Kakung belum pulang ya eyang?"tanya Laras melirik ke arah kursi rotan yang diletakkan di teras rumah dengan keadaan kosong. Biasanya Kakung akan duduk disitu sembari membaca naskah ataupun koran pagi.

"Iya nduk,kakung mu pulang dari keraton nanti jam 5 sore,"jawab eyang di angguki Laras. "Sudah sana masuk,makan siang terus istirahat. Eyang ada ayam kecap di meja dari bude mu,"ucap eyang menitah.

"Loh,eyang juga ikut makan dong,"bujuk Laras,dirinya dengan manja memeluk eyang dari samping dan meletakkan kepalanya di bahu eyang.

"Eyang sudah makan,kamu saja yang makan,sudah sana. Eyang mau melanjutkan menyapu dulu,"ujar eyang menepuk sapu lidi yang dipakainya. Laras merengut kecewa,"ya sudah,Laras masuk dulu ya eyang?"pamitnya.

"Iya."

Sebelum melangkah pergi,Laras tiba-tiba teringat pesan ibunya. "Oh iya eyang,kata bunda, bunda belum bisa pulang bulan ini. Ayah masih banyak pekerjaan, bunda nggak tega ninggalin ayah,"katanya.

Eyang terkekeh kecil,"Ayahmu itu lho sudah dewasa, nggak perlu apa-apa ditemani,"sahut eyang setelah selesai tertawa.

Laras tertawa mendengar jawaban eyang,"ayah kan memang manja sama bunda eyang,seperti lupa umur saja hahaha,"ujarnya mengingat tingkah sang ayah saat di rumah.

"Bukan sepertinya lagi nduk,tapi memang lupa umur itu,"balas eyang. Keduanya tertawa bersama.

"Sudah sana masuk. Ditaruh dulu barang-barangnya,pasti capai kan dari Jakarta ke Yogyakarta?"tanya eyang. Laras mengangguk,"ya sudah Laras duluan ya eyang,dahh!"tangannya menenteng kembali tas hitam ukuran sedang miliknya dan berlari masuk ke pendopo.

Oh dia ingat,dahulu dia pernah bermain bersama para sepupunya di teras pendopo. Terkadang saat siang hari,bersama kakung yang duduk di teras,mereka mendengarkan berbagai kisah menyenangkan dari kakung.

Tentu saja. Laras merindukan kenangan yang terjadi kira-kira dua puluh tahun yang lalu itu. Apa dia bisa merasakan moment itu lagi nanti? Laras tersenyum meski baru membayangkannya saja.

Laras merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi telentang. Tulang serta ototnya seolah mengendur dan merasakan kelegaan setelah berjam-jam duduk di kursi mobil travel.

Matanya menatap langit-langit kamarnya. Semuanya disini masih sama,ingatan sebelas tahun yang lalu sebelum Laras pindah ke Jakarta masih terukir jelas di ruangan ini. Mungkin eyang tak pernah mau memindahkan barang-barang disini.

Sejenak Laras menarik napas panjang. Sebelas tahun ya? Selama itu kah dia meninggalkan kota Yogyakarta? Rasanya itu baru terjadi kemarin,namun ternyata waktu terus berjalan dengan cepat.

Dahulu di kamar ini,dirinya masih sering mengajak sepupunya untuk tidur bersama. Terkadang kakung datang dan menceritakan sebuah kisah hingga mereka tertidur,Laras ingat jelas kisah-kisah yang kakung nya ceritakan.

Jika Laras lebih menyukai cerita yang lebih modern seperti kisah Cinderella dan sepatu kacanya,maka sepupunya akan lebih tertarik diceritakan kisah pewayangan. Saat kecil, Laras sering bertanya-tanya kenapa wayang sangat melegenda di Yogyakarta? Kenapa kakungnya bisa sangat mencintai wayang?

Kini Laras sadar,wayang adalah salah satu kesenian yang harus dijaga eksistensinya. Sampai saat ini,pertunjukan wayang masih rutin digelar meski setiap akhir pekan saja di keraton Sri Manganti, Yogyakarta. Namun, terkadang,jika ada acara peringatan dalam keraton Yogyakarta,wayang akan di gelar di Sasono Hinggil alun-alun Utara Yogyakarta.

Meski Laras tidak menyukai wayang,semua itu tetaplah warisan leluhurnya yang harus dijaga sampai generasi berikutnya. Laras tidak bisa egois hanya karena dirinya lebih menyukai pertunjukan yang lebih modern, seperti Disney princess yang sering ditontonnya sejak kecil.

Dan alasan lain mengapa dirinya tidak akan bisa jauh dari wayang yakni hubungannya dengan keluarga keraton.

Kakung adalah seorang dalang yang sudah lama bekerja di keraton. Beliau sering menghabiskan waktu untuk pergi ke keraton maupun ke Museum Sonobudoyo untuk mengecek perlengkapan kesiapan pertunjukan wayangnya.

Ngomong-ngomong soal kakungnya,beliau memang sudah tua dan Laras tau pekerjaan menjadi dalang adalah sesuatu yang membebani terlebih pada Kakungnya. Bukannya Laras tak pernah mengatakan pemikirannya itu pada sang kakek,namun dia tahu jawaban apa yang akan dia dapatkan.

"Tidak nduk. Kakung cinta pekerjaan kakung,wayang itu budaya kita,salah satu kesenian yang eksistensinya tidak boleh padam dimakan zaman. Kalau bukan Kakung yang melanjutkan budaya ini,siapa lagi?"begitu katanya.

Laras sedikit tertawa mengingat jawaban kakungnya,ia berkata seolah tidak ada lagi dalang di muka bumi ini. Tapi Laras memang tidak berhak melarang,kalau itu yang membuat kakungnya bahagia,kenapa tidak? Yang lain bahkan tidak keberatan.

Kakung memang tipikal seseorang yang keras kepala,dan itu menurun pada ayah juga pada Laras sendiri. Namun,Kakung pernah berkata,"bukan keras kepala nduk,hanya tekad yang tidak padam." Laras bahkan tertawa saat Kakung berkata demikian,kalimat elakannya terdengar tidak nyambung namun di buat terdengar bijak dan menggurui.

Ah... Waktu terasa berjalan lambat. Dia rindu pada sosok kakung yang akan menceritakan berbagai hal. Dia ingin mengubah sistemnya,kali ini dia mau dirinya sendirilah yang bercerita pada sang kakek. Kisah hidupnya selama sebelas tahun di Jakarta tanpa pernah menginjakkan kaki ke Yogyakarta sekalipun.

Laras mengatur napasnya,derunya mulai tenang dan bersiap untuk berlabuh ke alam mimpi,namun seketika gagal karena teriakan dari luar kamarnya.

"Mbak Risaaaaaa!!"

Saking kerasnya seruan itu mata Laras otomatis terbuka dan spontan saja mengambil posisi duduk dengan kepala yang berdenyut pusing. "Ugh kepalaku seperti naik komedi putar,"batinnya.

BRAK!

Pintu terbuka lebar kemudian seorang gadis dengan rambut diikat kuncir kuda masuk dengan membawa buku kimia di atas tangannya. "Sini kejar aku kalau berani wlee!"dia menjulurkan lidahnya pada sosok yang kemudian menyusul masuk dengan tampang kesal luar biasa.

"Mbak Risa! Balikin buku Reza!"sungutnya kesal. Tak menghiraukan kekesalan Reza,Risa makin gencar menggoda. Dia berjinjit dan menghindar ketika Reza hendak merebut bukunya kembali.

Laras menggelengkan kepalanya pasrah,ini dia. Duo pembuat onar di keluarganya,dua saudara yang tidak bisa akur satu sama lain.

"Wlee ndak bisa,ndak bisaa~"godanya sambil tertawa keras dengan puas. Reza berniat melompat dan meraih bukunya lagi,dan di saat terdesak begitulah Risa berseru. "Laras! Tangkap!"pekiknya melempar buku di tangannya yang langsung ditangkap sempurna oleh Laras.

Reza kaget mendengar nama saudaranya yang tidak pernah dilihatnya lagi selama sebelas tahun lamanya itu. Tubuhnya seketika berbalik dan mendapati Laras tersenyum sembari memegang buku kimianya. "Mbak Laras? Kapan pulang mbak?"tanyanya seperti orang linglung.

Risa menyentil pelan dahi Reza,"huu sudah masuk daritadi baru sadar,"ejeknya.

Reza mengerucutkan bibirnya kesal,"emang mbak Risa tahu kalau mbak Laras pulang hari ini?"tanyanya dengan nada sinis.

Risa mengedikkan bahu kemudian berjalan ke arah Laras,"ya tahu lah kan aku sering chattingan sama Laras,"jawabnya enteng. Gadis itu mengambil duduk di tepi kasur dan menatap penuh ejekan pada Reza sehingga laki-laki itu kembali kesal.

Laras menggeleng pelan,"sudah sudah. Kalian ini lho,kalau ketemu kok kerjaannya ribut melulu sih? Padahal yang satu sudah mau menikah,yang satu sudah SMA loh,"ucap gadis itu. Reza menunjuk Risa dengan telunjuknya,"mbak Risa duluan tuh! Reza mah nggak ngapa-ngapain,mbak Laras percaya kan?"tanyanya sambil menunjuk Risa.

Risa tertawa keras. "Menjahili kamu kan sudah tugasku,kalau bukan aku siapa lagi coba?"sahut gadis itu setelah tertawa keras.

"Tuh kan mbak Laras lihat sendiri kan?"sungut Reza masih kesal.

"Sudah sudah,nih aku bawain oleh-oleh,jangan ribut-ribut lagi ya,"Laras beringsut mendekati tas hitam ukuran sedang miliknya yang ada di ujung kasur. Membukanya dan mengambil dua bungkusan yang terbalut rapi seperti kado ulang tahun.

"Ini buat Reza,ini buat mbak Risa,"ucapnya memberikan masing-masing oleh-oleh pada pemiliknya.

Reza menatap bingung kadonya,"ini isinya apa mbak Laras?"tanyanya penasaran. Dibukalah kado itu dan seketika binaran mata Reza terbit. "Woah makasih bukunya mbak Laras! Reza butuh ini bangett!"ujarnya girang. Laras mengangguk,"belajar yang rajin ya?"Reza mengangguk dan memberi hormat ala-ala tentara. "Siap Bu komandan!"

Laras melirik ke arah Risa,"punya mbak Risa nggak dibuka?"tanyanya.

Risa kemudian membuka kotak yang Laras berikan. Rasa penasarannya meningkat pesat seketika. Saat melihat isinya,matanya terbelalak kaget. Wajahnya pucat langsung di palingkan menatap Laras,"ras,aku ndak bisa terima hadiah ini!"

Risa menatap tidak percaya pada hadiah yang diberikan Laras untuknya. Tangannya gemetaran saking kagetnya,Laras menepuk bahu Risa dan membuat kakak sepupunya itu menoleh masih dengan raut yang sama,pucat.

"Harus diterima dong,kan sudah Laras kasih ke mbak Risa,"ucap gadis itu dengan senyuman.

"Wah,kalungnya bagus sekali mbak Risa!"pekik Reza dengan mata yang berbinar melihat hadiah yang ada di tangan Risa.

Laras melirik liontin yang dia hadiahkan pada Risa,apa gadis itu kurang suka modelnya ya? Padahal temannya bilang itu adalah kalung keluaran baru tahun ini.

Laras menipiskan bibirnya,dia menatap Risa yang malah pucat menatap liontin itu. "Atau mbak Risa nggak suka modelnya ya?"tanya Laras pelan.

Risa menoleh cepat ke arah Laras,"kamu bercanda?! Ini kan liontin perak edisi terbaru tahun ini ras! Harganya mahal ras,aku harus balas kamu pakai apa?"tanya Risa dengan suara serak yang menahan tangis.

Ini bukan masalah model dari liontin nya. Justru liontin itu adalah model yang Risa suka. Berbahan perak dengan bandul berbentuk love menggunakan berlian murni berwarna biru langit yang bersinar apabila terpantul cahaya. Sederhana,namun harganya mencapai lima juta rupiah! Gila,dan liontin itu kini berada di tangan Risa!

Laras menghela napas lega,ternyata bukan karena model liontin nya yang terlalu sederhana. "Mbak Risa,aku kasih liontin itu ikhlas seratus persen,mbak Risa nggak perlu ganti apa apa. Asalkan mbak Risa janji satu,menjaga liontin itu baik-baik,anggap saja itu hadiah pernikahan dari aku,"ujar Laras.

Risa menunduk,menatap dalam kilauan bandul berlian  liontin yang kini menjadi miliknya. "Tapi bagaimana sama uang kamu ras,aku nggak mau ngerepotin kayak gini,"ujar Risa sendu.

Laras mengelus punggung Risa, membelainya seolah menenangkan seorang anak yang baru menangis karena ditinggal orang tuanya ke kota lain.

"Mbak Risa ngomong apa sih,kita kan keluarga, wajar dong aku kasih sesuatu buat mbak Risa,"ujarnya dengan cengiran khas seorang Laras.

Risa menyenggol lengan Laras pelan hingga gadis itu tertawa. Sebulir air mata turun dari sudut mata Risa namun segera di hapusnya,"apa sih kamu ini,bikin mewek saja,"ujar Risa ikut terkekeh kecil.

"Huu mbak Risa cengeng ah,sudah tua masih nangis,"ledek Reza yang langsung dihadiahi tabokan penuh kasih sayang dari Risa. Laki-laki itu mengaduk dan mengelus lengannya yang menjadi sasaran tabokan Risa.

"Sudah berumur bukan artinya nggak boleh menangis. Nangis itu wajar tau!"sewot Risa.

Laras tertawa,dalam hatinya dia ikut membenarkan ucapan gadis itu,pasalnya Laras juga masih sering menangis ketika umurnya menginjak usia dua puluh lima tahun. Memang benar,umur bukanlah sebuah patokan untuk larangan menangis,justru semakin dewasa rata-rata orang akan lebih banyak menangis bukan?

Risa kembali menatap Laras,"ras ini kamu yakin?"tanyanya sekali lagi.

"Mbak Risa nggak usah khawatir. Aku beli itu patungan sama bunda kok,jadi bukan murni uangku semua hehe,"sahut Laras cengengesan.

Risa sedikit tertawa mendengar jawaban Laras barusan,"ya sudah kalau begitu sampaikan terimakasih ku juga sama bulik ya. Aku janji bakal pakai ini saat pernikahanku nanti,"janji Risa. Laras mengangguk paham.

"Oh iya! Reza lupa mau berangkat les,duh gara-gara mbak Risa sih!"dumelnya kemudian memasukkan buku pemberian Laras ke dalam tas ransel yang sedari tadi berada di punggungnya.

"Dih aku lagi yang salah,"sahut Risa diikuti gelak tawanya. "Iya lah kalau bukan mbak siapa lagi?"sewot Reza sinis. Laras tertawa. Sepupunya itu meski laki-laki sangatlah emosional,tingkahnya saat marah hampir mirip seperti wanita.

Justru dengan sifat Reza yang apa adanya,dia memiliki banyak sekali teman. Reza yang memiliki sifat ceria juga friendly yang membuatnya terlihat ramah dan murah senyum.

"Kalau begitu Reza berangkat dulu ya! Bye mbak Laras,mbak Risa!"pamitnya kemudian berlari pergi.

"Hati-hati di jalan!"seru Risa yang disambut acungan jempol dari Reza. Saat tubuh laki-laki itu benar-benar menghilangkan dari balik pintu,dua gadis ini dilanda keheningan.

"Jadi ingat masa kecil kita ya ras?"celetuk Risa sembari tersenyum lebar. Matanya menatap Laras teduh. Lawan bicaranya mengangguk setuju,pandangan Laras menelusuri tiap jengkal ruangan yang menjadi kamarnya,setiap sudut kamar ini memiliki berbagai kenangan juga makna bagi Laras. Saksi bisu masa kecilnya yang dipenuhi canda tawa bahagia,Laras merindukannya.

Risa menengadah menatap langit-langit kamar dengan mata menerawang jauh ke masa lalu. "Dulu kita selalu sembunyi disini kalau sedang main petak umpet bareng mas Kris ya?"tanya Risa dengan senyuman yang terkembang di wajahnya.

Laras mengangguk setuju. "Dulu disini sama dapur adalah tempat paling aman buat sembunyi ya mbak,hahaha,"sahut Laras diikuti tawanya.

Risa ikut tertawa,"benar. Mas Kris kayak ndak ada usaha nyari kita di situ ya? Herannya malah dicari di sekitar kebun sama rumahku,"timpal Risa. Keduanya tertawa bersama mengenang kejadian yang sudah lama terjadi itu.

Wajah Risa kemudian beralih menatap lantai,tepatnya menatap kedua kakinya di lantai yang dingin. Matanya berubah menyorot sendu padahal beberapa detik tadi masih tersirat cahaya bahagia di sana. "Sekarang mas Kris sudah mau belajar berjalan lagi,"celetuk Risa dengan senyuman yang amat samar.

Senyuman yang bisa Laras artikan antara lega dan takut secara bersamaan. Laras terkejut mendengar berita itu,namun hatinya dihujani berbagai rasa syukur dan bahagia. "Sudah sejak kapan mbak?"tanya Laras penasaran.

Risa mengernyitkan wajahnya,berusaha mengingat tepatnya kejadian langka itu pertama kalinya terjadi. "Sekitar bulan lalu. Sejak mas Kris pergi ke acara pameran foto di galery lukisan sebelah museum Sonobudoyo yang baru dibuka itu. Tiba-tiba setelah pulang dia bilang pada pakde Sugeng kalau dia mau ikut terapi dan ingin bisa berjalan lagi,"jawab Risa.

Laras mengangguk-angguk,keinginan Kris untuk berjalan saja sudah menjadi suatu anugrah yang patut disyukuri saat ini. "Kira-kira apa ya yang mas Kris lihat di sana sampai mau ikut terapi lagi,"celetuk Laras berpikir. Pasalnya sedari lima tahun yang lalu,Kris selalu menolak keras saran keluarga untuk dirinya menjalankan terapi,tentunya hal ini menjadi tanda tanya yang besar pada diri Laras dan mungkin juga anggota keluarga yang lain. Suatu apakah yang bisa membuat hati keras seorang Kris luluh pastilah hebat.

"Dia bertemu seorang gadis,"jawab Risa seketika membuat Laras kaget.

Gadis!?!