HotBuku

Pembantu Tajir
4.6
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

“Mir, siapkan bajuku!” perintah Angga, anak Pak Fredy--majikanku.

“Baju yang kayak apa, Mas,” tanyaku kurang paham. Memang aslinya aku tidak paham. Jangankan baju kantor, daster saja aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kaos oblong dan celana jeans.

“Astaga! Kamu bisa kerja nggak, sih! Sono tanya sama Mbok Yem!” suruh Angga dengan nada kesal.

Aku menghampiri Mbok Iyem yang sedang memetik sayuran di dapur.

“Mbok, maaf, itu Mas Angga minta diambilin jas dan hem, aku nggak paham yang seperti apa,” keluhku pada wanita setengah baya yang saat ini kerja bersamaku. Ia memandangku heran.

Mbok Iyem bangun dari duduknya dan menuju ke kamar Angga yang letaknya berdekatan dengan kamar utama dan aku mengikutinya dari belakang.

Ya Allah, baru dua hari kerja rasanya seperti ini, capek, pegel, pingin nanggis. Papi, Mami aku kangen rumah ….

Mbok Iyem membuka lemari Angga dan mengambil satu stel jas beserta hem dan dasi.

“Neng Amir, eh Amira sini Mbok kasih tahu letak baju-bajunya Mas Angga. Di sini khusus jas dan dasi yang menggunakan hanger. Sebelahnya khusus untuk hem serta baju resmi lainnya dan itu khusus kaos dan baju santai. Untuk pakaian dalam ada di sebelah bawah,” ucap Mbok Iyem sembari menunjukkan letak-letaknya.

“Iya, Mbok. Eh, mbok, apakah Mas Angga selalu seperti ini?” tanyaku sembari kuanggukkan kepala yang padahal masih belum mudeng.

Bagaimana aku bisa paham, ketika di rumah aku tidak pernah mengatur pakaian, bahkan pakaian dalampun masih diambilkan oleh Mbok Tinah--Asisten rumah tangga kami. Kali ini benar-benar berbanding terbalik dengan keadaanku saat di rumah.

“Diantara keluarga ini, dia yang paling bawel. Apa-apa harus disediakan, bahkan kalau nggak punya malu, mungkin makanpun maunya disuapin,” jelas Mbok Iyem.

Setelah itu, Mbok Iyem kembali ke dapur sedangkan aku masih mempelajari letak pakaian Angga--lelaki bawel anak majikan.

“Woi, mana jasku, bawa sini!” pekik Angga yang baru saja keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk.

Aku yang saat itu masih mempelajari letak pakaian Angga, kaget mendengar panggilannya. Ya Allah galak amat.

“Eh, itu, Mas,” jawabku sembari menunjuk jas yang tadi diambilkan Simbok. “Saya pamit keluar dulu ya, Mas, sebab ada porno aksi.”

Aku langsung keluar dari kamar Angga dan menuju ke dapur menemui Mbok Iyem. Aku duduk di lantai sambil merenung.

Mami, Papi, aku ingin pulang. Aku nggak betah. Aku tak kuasa menahan air mata. Di rumah, aku dilayani, di sini aku harus melayani.

“Mir, kenapa nangis?” tanya Mbok Iyem. Kuseka air mataku menggunakan baju yang kupakai.

“Capek, Mbok,” jawabku.

“Lha kamu kenapa daftar jadi babu, sih. Kamu itu masih muda, energik, mending kerja di pabrik apa jadi pelayan toko. Kerjaan kayak gini nggak cocok,” ujar Mbok Iyem.

Aku masih terisak.

“Sudah, jalani saja dulu, nanti lama-lama juga terbiasa. Sekarang siapin sarapan, bentar lagi Pak Fredy, Bu Sarah, Mas Angga dan Mas Ari keluar untuk sarapan.”

Duh, aku belum pernah nyiapin sarapan seperti ini, gimana ini.

“Mbok, aku nggak bisa nyiapin sarapan,” ucapku panik. “Aku belum pernah memasak apalagi menyajikan menu di meja makan.”

Aku semakin panik.

“Tadi nyiapin baju nggak bisa, ini menyajikan menu sarapan di meja nggak bisa, masak juga nggak bisa, lalu apa yang kamu bisa?” cecar Mbok Iyem padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena memang kenyataannya seperti itu.

“Lha memang Mamakmu tidak ngajarin?”

Aku menggeleng kepala kemudian tertunduk. Sebenarnya ngajarin, tetapi aku yang tidak mau.

Terdengar suara derap langkah kaki. Astaga! Mereka menuju meja makan untuk saatnya sarapan. Aduh, gimana ini, apa yang harus aku siapkan?

Aku bingung dan berjalan kesana-kemari.

“Mbok, nasi di mana? Apa yang harus aku siapkan? Mbok, sini, dong!” pintaku pada Simbok. Simbok tersenyum.

“Mir, Mir, kali ini Simbok bantu, besok-besok kamu harus kerjain sendiri.”

Aku mengangguk, “Makasih, Mbok.”

“Tuan Fredy tidak pernah makan nasi begitu juga Nyonya Sarah. Mereka sarapan roti sama selai. Kalau Mas Angga sukanya nasi goreng dan Mas Ari sukanya makan buah. Oleh karena itu pagi-pagi kamu harus bikin nasi goreng buat Mas Angga dan ngupasin buah buat Mas Ari. Buahnya ada di kulkas, roti sudah tersedia di meja makan. Minumnya air putih kecuali Mas Angga, dia suka kopi coklat panas.”

Aduh, pusing denger penjelasan Mbok Iyem.

Akhirnya Mbok Iyem yang menyiapkan menu sarapan di meja. Aku memperhatikan dengan seksama.

Mereka berkumpul di meja makan.

“Mir, mana nasi gorengku?” tanya Angga, “Harusnya sudah siap di hadapanku.”

“Kenapa buahku belum di kupas?” tanya Ari bingung.

“Roti selaiku mana? Lho, kok semuanya belum ready? Cecar Bu Sarah, majikanku. Ibunya Angga dan Ari.

“Ini, Mas Angga,” jawabku sambil membawakan sepiring nasi goreng yang kuambil dari wajan.

“Maaf, Mas Ari, a—aku belum sempat mengupasnya,” balasku khawatir. Khawatir dia marah.

“Ya udah, nanti aku kupas sendiri,” balas Pria yang terlihat kalem itu.

Mas Ari dan Mas Angga sangat berbeda.

“Nyonya, maaf, saya belum tahu selera Nyonya.”

“Amira, kamu harus banyak belajar sama simbok. Di sini ada tiga orang ART, kalian harus bagi-bagi tugas. Kali ini aku beri kelonggaran, aku beri kesempatan seminggu untuk adaptasi.”

Mendengar penjelasan Nyonya Sarah aku jadi rindu Mami. Mamiku tidak pernah memarahiku.

“Dengerin, tuh,” ledek Angga.

“Mah, dia nggak tahu yang namanya jas, dasi, hem. Aku heran, selama hidup, apa yang dia lakukan? Jangan-jangan masak airpun nggak bisa. Kalau nggak bisa apa-apa, nggak usah kerja. Noh jadi bos aja yang kerjanya Cuma nongkrong duit datang!” ejek Angga.

Asem bener. Dia cowok apa cewek, kalau cowok kok mulutnya lemez banget. Pingin kutimpuk dia, belum tahu aku siapa. Sabaar … sabar ….

Aku hanya nyengir kuda sambil tertunduk. Aku harus menjalani ini demi cita-citaku. Setelah setahun menjadi babu, Papi sama Mami menjanjikanku untuk kuliah di Jepang ambil S2 tehnik.

“Hoi, ngalamun,” panggil Angga.

“Eh, iya.”

“Aku sudah selesai, tolong bereskan! Oya, ambilkan air putih,” perintah pria bawel itu.

Kenapa hanya dia doang yang bawel, sih. Beda dengan Ari, kalem. Kuambilkan air putih yang sebenarnya ada di hadapannya. Hanya dia saja malas mengambilnya.

“Ini, Mas.”

Tanpa sengaja air yang ada di gelas mengenai jas yang di pakai Angga.

“Astaga, ma—maaf, mas, aduh.”

Angga langsung berdiri dan memandangku sambil melotot.

Kacau, kacau, aduh, pasti marah.

Langsung ku lap jas-nya dengan lap makan, malah tambah kotor.

“Amiraaa!”

Aku bingung.

“Apa apaan, ini!”

“Ma-maaf, Mas. A-aku ambilkan jas baru, ya.” Aku bergegas ke kamar Angga diikuti olehnya. Aduh, tadi letaknya di mana.

Kubolak-balik lipatan baju untuk mencari jas yang bersih.

Tadi sudah diberitahu Simbok tetapi aku lupa, letak jas ada di mana, ya.

Apa ini, kuambil satu. Aduh, salah, inikan hem. Lalu kubuka lemari yang satunya. Alhamdulillah, ini dia, lalu ku ambil satu dan kuberikan kepada Angga.

Angga memegang dahinya.

“Hoi, tahu, nggak, aku sudah telat! Heran aku sama kamu, kok bisa Mama nerima babu macan kamu, gak bisa kerja!”

Mendengar ucapan Angga, mendidih darahku.

“Mas! Jaga ucapanmu, kamu nggak tahu siapa aku, kan?” ucapku kesal. Keterlaluan sekali dia, belum tahu siapa aku.

“Aku tahu kamu. Kamu adalah ART!” ejeknya sambil mengganti jas kotor dengan jas yang kuberikan tadi.

“Diam!” bentakku.

“Hoi, kamu berani membentakku?” balasnya.

Terang saja aku berani, ga ada yang aku takuti.

Kriiing … telpon Angga berdering.

“Iya sayang, bentar lagi aku jemput,” ucapnya menjawab telpon dari seberang sana, mungkin kekasihnya.

Aku kerjain saja, kudekatkan wajahku ke arah telpon yang dia genggam.

“Jangan ganggu cowokku,” ucapku agar cewek yang menelponnya mendengar ucapanku, ha ha ha, puas!

“Amira, apa yang kamu lakukan!” Angga memarahiku matanya melotot, setelah itu bicara kembali di poncelnya, “ Sayang, itu pembantuku, nanti aku jelaskan di kantor, ya. Udah, ya, Mas siap-siap, bye.”

Aku tersenyum sendiri.

“Amira, awas, akan aku buat perhitungan nanti.” Setelah itu dia pergi ke kantor. Huft.

“Astaga! Aduh, pusing,” pekikku. Baju yang ada di lemari berantakan semua gara- gara tadi nyari jas-nya Angga.

“Astaga! Aduh, pusing,” pekikku. Baju yang ada di lemari berantakan semua gara- gara tadi nyari jas-nya Angga.

kubereskan satu per satu baju yang ada di lemari Angga dengan modal video youtube. Cara melipat baju.

.

.

.

Malam hari.

Aku duduk di sudut kamar. Kuedarkan pandanganku ke setiap sisi ruangan. Kamar dengan ukuran 3x2 sangat tidak layak bagiku. Aku yang terbiasa dengan kamar lebar fasilitas mewah, apa-apa tinggal bilang. Namun kali ini sungguh membuatku gila. Setahun, ya, aku harus di sini setahun untuk belajar kehidupan. Belajar menjadi orang susah, begitu kata Papi.

Ini baru dua hari rasanya sudah seperti ini. Capek, badan pegel, dimarah-marahi oleh bos. Tak bisa aku bayangkan jika harus setahun.

Mami, aku kangen rumah … .

“Amir!” teriak Angga. Aslinya namaku Amira Hilda, tapi entah kenapa Angga memanggilku Amir, mungkin karena penampilanku yang tomboi. Kaos oblong dan celana jeans itulah pakaian favoritku.

“Amiiir!” teriak Angga lagi. Aku langsung bangkit dan setengah berlari keluar kamar menuju sumber suara. Astaga, bakal marah-marah lagi ni orang. Gak tahukah kalau aku capek. Ada apa malam-malam begini memanggil.

Kulihat Angga duduk di ruang makan.

“Iya, mas, ada apa? Sudah malam kok manggil-manggil, saya capek,” rutukku sambil manyun.

“Amir, aku laper, bikinin mie instan!” perintahnya sembari mengotak-atik laptop.

“Kan ada Mbok Yem, Mas,” ucapku mengelak.

Angga berdiri dan memelototiku.

“Kamu nggak kasihan sama simbok? Ini jam berapa? Sudah jam setengah sepuluh, lho, Simbok biar istirahat,” ucapnya sembari menunjuk jam tangannya.

“Lah itu tahu, saya juga capek, Mas. Saya pingin tidur, seharian saya kerja.”

Di saat Angga memarahiku, Ari muncul dan mengambil buah di kulkas. Melihat Angga memarahiku, dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Ngga, sudah, jangan dimarahin melulu nanti kabur kayak yang kemarin,” tutur Ari.

Syukurlah ketolong. Wah, berarti Angga memang begitu orangnya, galak dan bawel.

“Susah, lho, cari pembantu,” lanjut Ari. Setelah itu masuk ke kamarnya lagi.

Mendengar ucapan Ari, Angga bergeming.

“Sudah cepet sono!” perintah Angga.

Duh, gimana ini, jangankan bikin mie, ngerebus air saja bisa dihitung dengan jari. Biasanya tinggal makan. Cuma tinggal nyuruh Mbok Tinah, minta bikinin, lalu makan, lha hari ini berbalik. Aku yang disuruh bikin.

Naruh pancinya saja aku tidak tahu, kalau bikin mie, airnya seberapa aku juga tidak tahu. Mau bangunin Mbok Iyem, tidak enak.

Owh, iya, lihat di youtube saja.

Kukeluarkan ponselku, lalu ku ketik “Cara membuat mie instan,” ugh, banyak sekali, aku klik yang ini saja.

Akhirnya kuikuti langkah-langkah membuat mie instan.

“Astaghfirullahal’adziim, Mir, sebenarnya kamu niat apa enggak, sih, masak mie instan saja nggak bisa.”

Aku dikagetkan oleh suara dibelakangku. Ternyata Angga, asem tenan.

“Bikin mie instan saja lihat di youtube, bener-bener kebangetan kamu, ya. Lihat nih, dibalik kemasan bungkus mie ini, ada tata caranya.”

Mendengar keributan di dapur, Mbok Yem, Pak Fredy dan Bu Sarah keluar dari kamarnya. Mereka melihat kami di dapur yang sedang beradu mulut.

Duuh, bodoh sekali aku ini, ternyata disebalik bungkus mie instan, ada tata caranya, Mami ….

“Ada apa malam-malam ribut di dapur,” tanya Bu Sarah, wanita yang meski usianya lima puluhan, tetapi masih terlihat cantik.

Aku serba salah, kacau, bisa-bisa aku di pecat. Tidak … .

“E …, I … ini, Bu, Mas Angga memintaku bikin mie instan,” jawabaku serba salah.

“Ma, ngapain sih Mama nerima orang ini? Nggak bisa kerja, masak bikin mie instan saja lihat di youtube.”

Aku tertunduk mendengar aduan Angga. Tuhan … tolong jangan sampai aku di pecat.

Pak Fredy, Bu Sarah dan Ari tertawa berbarengan.

Tak bisa dibayangkan, aku yang sangat tegang dan takut di pecat, malah di tertawakan.

“Angga, kalau dia tidak bisa bikin mie instan, ya kamu ajari dulu, jadi besok-besok dia bisa ahli,” kata Ari sambil menahan tawa.

“Iya bener,” sahut Bu Sarah.

Setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing. Mbok Iyem menghampiri kami.

“Mas Angga kenapa tidak membangunkanku saja? Tugas memasak hari ini adalah tugas Simbok. Neng Amira tugasnya nyuci sama nggosok.”

Lega rasanya mendengar ucapan Mbok Iyem.

“Aku nggak tahu itu, Mbok, yang kutahu aku ini laper dan pingin dibuatkan mie instan. Lagi pula aku ingin Mbok istirahat saja, sudah malam apa lagi siang hari Mbok dah capek kerja. Kalau Si Amir, kan masih muda, tenaganya kuat,” ucap laki-laki yang sebenarnya gagah dan tampan serta bertubuh tegap itu.

Akhirnya Mbok Iyem mengajariku bikin mie instan. Owh, rupanya seperti ini cara buatnya. Astaghfirullah, sampai umurku 22 tahun gini, baru kali ini aku bikin mie. Setelah selesai, Mbok Iyem kembali ke kamarnya.

Kuhidangkan mie instan yang sudah matang kepada Angga.

“Mas, ini mie instannya,” ucapku sembari kuletakkan di meja.

“Iya, makasih,” jawabnya. Tangannya masih mengetik di laptop sambil sesekali seperti berfikir.

“Bikinkan kopi kesukaanku sama ambilkan saos sambel,” perintahnya.

Duh, saosnya ada di mana dan kopi kesukaannya seperti apa, ya. Aduuuh, aku tidak mau ribut lagi, tetapi bener-bener aku tidak tahu.

“Mas, saosnya di mana, ya, maaf.” Kuberanikan diri untuk bertanya. Dia memandangku dan menunjuk hidungnya.

“Nih, di sini,” ucapnya geram. “Saos itu tempatnya di kulkas, Amir!”

Langsung aku menuju kulkas dan mengambil saos, setelah itu kuserahkan padanya.

“Mau tanya lagi, maaf, kopi kesukaan Mas Angga itu kayak apa?”

“Amiiir …!”

Angga berteriak kencang, mungkin saking kesalnya karena aku bertanya terus.

Kembali seisi rumah keluar semua menuju dapur. Pak Fredy, Bu Sarah, Ari dan juga Mbok Iyem.

“Ada apa lagi, sih. Kalian berdua berantem melulu,” teriak Bu Sarah. Kali ini dengan wajah kesal, mungkin karena terganggu.

“Ma, aku nggak ingin ada dia di sini. Dia nggak pecus kerja!”

Serius, Angga tampaknya benar-benar serius ingin mengeluarkanku. Jangan sampai ini terjadi, aku harus bertahan di sini, jika aku keluar dari sini, maka gagal perjanjianku dengan Mami Papi. Bisa-bisa aku tidak jadi kuliah di Jepang.

“Mas Angga, Bu Sarah, Mas Ari, Pak Fredy, maafkan saya. Tolong jangan pecat saya. Terus terang memang saya jarang membantu orang tua di dapur karena saya harus sekolah dan bekerja. Jadi ketika pulang, saya tinggal makan,”

Aku terisak. Biarlah pura-pura menangis agar mereka iba.

“Saya akan berusaha belajar, tetapi bimbing saya.”

“Ok,” ucap Bu Sarah. “Angga, kasih tahu ke dia, apa kesukaanmu, satu lagi, kamu jangan galak!”

Hiks, rasanya ingin tertawa mendengar ucapan Bu Sarah. Sukurin dimarahin.

“Iya lo, nanti gak betah gara-gara kamu,” sahut Ari, kakak Angga yang memiliki beda sifat. Meski jaraknya hanya setahun, tetapi terlihat lebih dewasa.

“Apa lo ikut-ikutan,” sahut Angga sebal.

Mereka kembali ke kamar masing-masing kecuali Mbok Iyem.

“Mira oh Mira, sebenarnya kamu itu cantik, coba, deh ganti penampilanmu, jangan hanya pakai kaos oblong sama celana jeans saja. Coba pakai dres atau baju cewek.”

“Bicara apa, sih, Mbok. Udah, ah, kasih tahu gimana cara bikin kopi buat si lemez itu,” ucapku.

Mbok Iyem mengambil gelas, lalu mangambil gula, kopi hitam, coklat bubuk dan krimer.

“Begini caranya, perhatikan!” suruh wanita tua yang usianya hampir sama dengan Mbok Tinah, pembantuku di rumah.

“Gula sesendok, krimer setengah sendok, kopi setengah sendok dan coklat setengah sendok, kasih air panas dari tremos, mengerti?”

Simbok melakukan yang dia ucapkan. Aku memperhatikan dengan seksama, takut salah sebab kadang lupa.

“Iya, mbok, akan aku ingat-ingat.”

“Dah sono kasih ke Mas Angga,” perintah simbok.

Setelah itu simbok kembali ke kamarnya. Kuserahkan minuman yang telah dibuat oleh Simbok ke Angga.

“Ini, Mas,” ucapku.

“Makasih,” jawabnya.

“Sudah tidak ada lagi yang di minta, kan? Aku ke kamar, ya,” pintaku.

“Ya.”

Alhamdulillah akhirnya drama malam ini selesai.

Alhamdulillah akhirnya drama malam ini selesai dan aku bisa tidur dengan tenang. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang hanya berukuran 140 x 200 meter, beralaskan kasur kapuk yang sudah usang sehingga membuat punggungku terasa pegal ketika bangun.

Suara alarm ponselku berbunyi pas adzan Subuh. Rasanya malas banget untuk bangun, kakau di rumah biasanya jam sepuluh baru keluar kamar. Kali ini aku tidak bisa seperti itu.

Aku keluar kamar untuk mandi dan persiapan sholat Subuh.

Setelah sholat Subuh, ingin rasanya tidur kembali.

“Rebahan dulu, ah.”

---------------

“Amira!”

Terdengar ada suara memanggilku, sontak aku terbangun. Astaga, sudah jam enam, rupanya aku ketiduran.

Aku ke luar kamar, kulihat Mbok Iyem sedang mempersiapkan sarapan di meja makan sama persis yang selalu di kerjakan Mbok Tinah--pembantuku di rumah.

“Ya Allah, jam segini baru bangun? Ingat, ini di rumah orang, bukan rumah emakmu!” ucap Mbok Yem sambil menata makanan di meja makan.

“I … iya, Mbok, maaf. Tadi sehabis Subuh kok ngantuk banget,” elakku. Aku mendekatinya dan hanya melihat karena memang tidak tahu harus berbuat apa.

“Tugasmu hari ini mencuci baju, menjemur pakaian serta menyetrika. Nah, sekarang, ambillah baju kotor di kamar Bu Sarah, Mas Ari dan Mas Angga,” perintah Mbok Yem.

“Kukira tugasku hari ini masak, Mbok, soalnya semalam sempat nyari resep nasi goreng di gugel,” ujarku.

“Ya Allah Amiiir, bikin nasi goreng saja sampe lihatin Mbah Gugel,” seru Mbok Yem. “Tugas memasaknya besok, jadi usahakan bangunnya pagi dan bikin sarapan,” lanjutnya.

“Mbok, besok bantuin aku, ya,” keluhku, “Aku sama sekali nggak bisa masak.”

“Iya, dah sono ambil baju kotornya.”

Dengan langkah lunglai aku menuju kamar Bu Sarah untuk mengambil baju kotor.

Setelah kamar Bu Sarah, aku menuju kamar Ari. Setelah kamar Ari, aku menuju kamar Angga.

‘Kamarnya terbuka, tetapi orangnya tidak ada, kemana?’

Kudengar suara air, mungkin sedang mandi. ‘Pantas saja belum ada baju kotornya. Ehm, mungkin aku harus menunggunya sebentar.’

Kuedarkan pandangan keseluruh ruangan. Kamarnya sangat besar dan nyaman, sayangnya berantakan--sama sepertiku.

Kring … suara ponsel Angga berbunyi, angkat tidak, ya?

Kring … suara ponsel berbunyi kembali. Angkat tidak, angkat tidak. Barangkali penting, ah, biarin sajalah.

Kring … suara ponsel Angga berbunyi untuk ketiga kalinya, sepertinya penting, ehm, aku angkat saja, deh.

Kutekan tombol warna hijau dengan gambar gagang telpon.

“Arinda namanya,” gumamku.

“Halo sayang, hari ini aku nggak ngantor, jadi nggak usah jemput aku, ya,” ucap wanita yang ada di seberang sana.

Waduh gawat, jangan-jangan ini kekasihnya Angga. Harusnya tidak usah di angkat.

Ku riject saja, ah.

Kemudian ponsel kuletakkan di tempat semula. Tak berapa lama Angga ke luar dari kamar mandi hanya berbalut handuk dan bertelanjang dada. Melihat pemandangan seperti itu, aku menjerit.

“Huaaa!”

Anggapun kaget mendengar jeritanku. Aku berlari dan keluar dari kamarnya takut dimarahi oleh Angga. Akupun takut karena mengangkat telpon tanpa permisi dan juga masuk kamar tanpa salam.

Dengan terengah-engah aku menuju Mbok Iyem yang sedang menata makanan di meja makan.

“Mbok, kali ini bakalan ada perang dunia kedua,” ucapku masih dengan napas memburu.

“Memangnya kenapa, Neng?” tanya Simbok sembari merapikan piring serta sendok.

Tak lama Bu Sarah, Pak Fredy serta Ari keluar kamar menuju meja makan.

“Amira …!”

Terdengar suara teriakan yang tidak asing di telinga.

Mendengar teriakan itu, aku berlindung di belakang Mbok Iyem.

“Mbok—tolong, aku takut,” pintaku sama Mbok Iyem yang keheranan dengan tingkahku begitu pula Bu Sarah, Pak Fredy dan Ari.

“Ada apa ini?” tanya Bu Sarah.

“Ma, Amira keterlaluan!” ucap Angga sambil menunjuk ke arahku, “Aku ingin Mama pecat dia. Dia lancang masuk ke kamarku dan berani mengangkat telpon dari Arinda.”

Aku menunduk.

Rasanya aku ingin menghilang dari hadapannya.

“Benar begitu Amira?” tanya Bu Sarah.

“E … iya, Bu,” jawabku.

“Tuh kan, Ma,” sahut Angga.

Ya Allah, itu cowok kok seperti itu banget.

“Tapi Bu, hari ini tugas saya mencuci baju. Nah, saya masuk ke kamar Mas Angga untuk mengambil baju kotor, kebetulan kamarnya terbuka, ternyata mas Angga sedang mandi. Saya mau balik ke dapur, rasanya tanggung, ya saya menunggu Mas Angga keluar.

Pada saat menunggu Mas Angga, tiba-tiba telponnya berdering, saya pikir itu penting soalnya sampai tiga kali, lalu ku angkat dan ternyata dari Arinda, lalu ku riject,” aduku. Masih berlindung di belakang Simbok.

“Kemudian setelah mengangkat telpon Arinda, Mas Angga keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk. Kemudian aku keluar kamar, Bu, karena Mas Angga pornoaksi”

“Oalah, cuma kaya gitu, ya sudahlah, Ngga, nggak usah ribut. Dah, sini makan, lihat sudah jam setengah tujuh,” sambung Bu Sarah sambil mengunyah roti tawar kesukaannya.

“Tapi, Ma, Arinda marah padaku,” sungut Angga.

“Nanti jelasin saja sama Arinda, gampang kok. Ma, aku berangkat dulu, ya,” sahut Ari kemudian berdiri.

“Kan belum sarapan, Ri.”

Mama bingung.

“Nanti saja di kantor,” jawab Ari lalu menyalami kedua orang tuanya.

“Mbok, sarapannya mana?” teriak Angga kesal, masih kebawa persoalan sebelumnya.

“Eh iya, Mas, ini,” jawab simbok sembari menghidangkan nasi goreng ke Angga.

“Awas kamu, Mir,” ucap Angga sembari melirikku.

‘Ya ampun, laki-laki kok pendendam,' batinku.

.

Astaga, hari ini tugas mencuciku belum kelar, dengan setengah berlari aku menuju mesin cuci yang letaknya berdekatan dengan kamar mandi.

“Ini gimana cara nyalainnya, seumur-umur baru kali ini aku pegang mesin cuci. Ih, kenapa nggak di laundry saja, sih, kan orang kaya,” gumamku.

Mau bertanya sama simbok, rasanya malu. Lagi pula hari ini sepertinya sibuk.

“Hay, kok bengong,” tanya Simbok mengagetkanku sambil menepuk bahuku, “Jangan bilang kalau nggak bisa pakai mesin cuci, ya,” sambungnya.

“Kok tahu, Mbok, asli aku nggak bisa nyuci.”

“Lha kamu bisanya apa? Makan doang?” ejek wanita itu.

Aku tidak mungkin menceritakan ke Simbok kalau sebenarnya aku anak dari pemilik perusahaan property terkenal di Serpong.

“Dulu aku sekolah dan nggak sempat ngerjain seperti itu,” sanggahku.

“Coba lihat saja di Mbah Gugel gimana cara mencuci dengan mesin cuci. Hari ini kerjaanku banyak, mau masak-masak karena temannya Mas Angga mau datang.”

“Ya udah, deh.”

Kukeluarkan ponselku dan berselancar mencari informasi bagaimana cara mencuci dengan mesin cuci. Yes ketemu. Akhirnya aku dapat mencuci dengan petunjuk di youtube. Selesai mencuci, aku ke lantai atas untuk menjemur pakaian. Itupun mencari petunjuk di youtube juga.

Selesai, tinggal nunggu kering dan menyetrikanya.

Aku ke dapur dan melihat Simbok masih sibuk memasak.

“Belum selesai, Mbok?” tanyaku sembari memperhatikan hidangan di meja makan. “Wah, hari ini masaknya banyak banget,” lanjutku.

“Iya, kan mau ada tamu.”

“Ooo, perlu bantuan nggak?”

“Udah mau selesai, mending kamu ganti baju dan nanti ikut menemani Simbok saja,” ujar wanita yang nama aslinya adalah Wagiyem.

“Okelah,” jawabku. Kemudian aku menuju kamar mandi untuk bersih-bersih, lalu melangkah menuju kamar.

Tiga hari di sini, aku belum sempat merapikan pakaian. Semua pakaianku masih ada di tas. Sementara baju yang sudah kucuci, belum ada yang kulipat.

‘Pake baju apa, ya, stok baju menipis, ada juga yang belum ku setrika, malu!. Biasanya langsung ambil di lemari, semua sudah rapi.’

Ketika ku bongkar isi tas, aku menemukan dres lengan lendek motif batik dengan panjang se lutut.

‘Wah, ini cantik banget, baju siapa ini?’ Aku mengingat-ingatnya. Owh iya, ini baju yang dibelikan Mama ketika ke Bali. Pasti Mama yang nyelipin di tas. Mama tahu kalau kesukaanku kaos oblong sama celana jeans, makanya beliau beliin baju ini berharap suatu hari dapat aku pakai.’

‘Baiklah, akan coba.’ Aku mencoba dres motif batik ini dan mematut diri di cermin. Kuurai rambut panjangku yang biasanya hanya kukuncir kuda. Aku berjalan ke sana dan ke mari. ‘Pas banget, aku pakai saja, deh.’

“Amira,” pekik Mbok Iyem dari luar kamar.

“Iya, Mbok.”

“Sini cepet, mereka sudah datang.”

Sebenarnya kurang percaya diri menggunakan baju seperti ini, tapi terpaksa.

Aku keluar kamar dan menuju meja makan untuk membantu Mbok Iyem menyambut para tamu.