HotBuku

LIGNEE
4.5
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

Hotel bintang Lima itu tampak meriah dengan berlangsungnya acara ulang tahun Aldi Erlangga. Siapa yang tak kenal dia? Seorang CEO dan pengusaha muda pemimpin perusahaan Unity Holdings Company. Aldi adalah sosok pengusaha sukses yang menjadi panutan semua orang. Disamping itu pula, garis wajah wajah yang kuat disertai tatapan tajamnya berhasil membuat semua wanita bertekuk lutut kepadanya.

Pesta berjalan begitu sarat kemewahan, semua anggota keluarga Erlangga beserta rekan dan beberapa teman dekat di undangnya mereka menikmati minuman termahal juga makanan yang dibuat oleh koki terkenal.

Tampak beberapa pejabat pemerintah dan artis-artis terkenal hadir di sana, memenuhi undangan sang pengusaha muda di hotel yang bintang lima bertaraf Internasional.

Ini bukan hanya sekedar pesta ulang tahun biasa. Untuk Aldi, ini adalah langkah awal perubahan di perusahaanya. Aldi terlihat begitu bersemangat malam itu.

Seorang wanita muda berpenampilan sederhana berparas menawan menggandeng pria berjalan di tengah tengah pesta. Segera mereka menghampiri teman yang sudah menunggunya di meja perjamuan.

“Tuan Rayhan…” Wanita muda itu menyapa pria separuh baya yang melambaikan tangan padanya.

“Sasha...Selamat datang!” Rayhan menyambutnya dengan hangat.

“Selamat malam, apa kabar?” Sebagai tuan rumah, Aldi juga tampak akrab dengan Sasha.

“Selamat ulang tahun," ucap Sasha pada Aldi.

“Terima kasih.”

“Ini suami aku Emir, Emir … Ini Aldi Erlangga.”

“Selamat datang.” Aldi menyalami Emir.

Malam itu Aldi sebagai tuan rumah pesta berkesempatan untuk naik ke atas panggung memberikan pidato singkatnya, diiringi riuh tepuk tangan dan decak kagum para tamu, Aldi mulai berbicara. “Teman-teman tersayang. Tidak mudah untuk berbicara di depan orang banyak. Jadi tolong jangan khawatir. Ini tidak akan menjadi pidato yang panjang. Pidato membuatku bosan. Mereka yang mengenal aku tahu itu merayakan ulang tahun bukan kebiasaanku. Tapi malam ini akan jadi spesial buatku. aku sangat beruntung menjadi anakmu, Ayah. Kau telah memberi aku banyak hal yang banyak orang tidak miliki. Tapi mungkin yang paling berharga hal yang kau ajarkan kepada aku adalah untuk tidak pernah menyerah pada mimpiku, aku telah mendengarkan bagaimana kau mengejar mimpimu siang dan malam dan bagaimana kamu membawanya ke tempat ini, hari ini. Hari ini, di hari ulang tahunku aku memutuskan untuk memberi diriku hadiah, aku senang berbagi kabar baik ini bersama kalian….”

Belum sempat Aldi menyelesaikan pidatonya, seorang wanita dengan wajah yang pucat memotong acara dan berdiri tepat di hadapannya juga tamu-tamu pesta seraya berteriak, “Aldi Erlangga ... aku juga punya hadiah untukmu. Selamat ulang tahun.” Wanita itu mengeluarkan pistol dari tas pestanya. Semua tamu undangan menjerit ketakutan.

***

6 bulan sebelumnya…

Pagi yang cerah, kamar bercat biru bergambar berbagai macam mobil balap itu makin hangat saat Dea menyibakkan tirai. Kevin menutup wajahnya yang mungil dengan bantal, menghindari sinar matahari pagi yang mengenai pipi kemerahannya. Dea dengan sabar membangunkan anak semata wayangnya yang baru berumur 6 tahun.

“Ayo, Nak. Kita harus bangun.” Ucap Dea sambil membelai rambut Kevin.

“Bu, aku ingin tidur….” Kevin menguap manja dan tampak enggan meninggalkan kasurnya..

Ini memang tugas Dea setiap hari, membujuk Kevin agar terbangun dan bersiap-siap pergi ke rumah bibi Ema. Wanita tua yang telah dipercayai oleh Dea untuk mengasuh Kevin dari semenjak bayi setiap Dea harus berangkat kerja, mencari uang untuk hidupnya dan anaknya. Seperti biasa, belaian lembut tangan Dea di rambut keriting Kevin biasanya berhasil membuat dia terbangun. Hanya saja, entah kenapa hari ini Kevin terlihat begitu enggan meninggalkan kasur mobil favoritnya.

“Sayang, kumohon, ibu terlambat kerja.”

“Tidak….” Kevin memasang wajah cemberut.

“Berarti kamu meminta ini. Ibu akan menggelitik! Satu … dua … dua setengah.” Jari-jari Dea mulai menggelitik kaki anaknya.

“Oke, Bu. Aku bangun.” Akhirnya Kevin menyerah dan berdiri dari kasurnya lantas berjalan menuju kamar mandi.

Dea tertawa melihat kelakuan putra tersayangnya, sambil membereskan tempat tidur Kevin Dea terus memuji anaknya yang tampak masih sangat mengantuk. “Nah itu baru anak ibu, pintar. Bangun, nak. Cuci muka mu.”

“Mengapa aku harus bangun setiap pagi, Bu?” Celoteh Kevin sambil berteriak dari dalam kamar mandi.

“Apa yang bisa kita lakukan? Kamu tidak bisa tinggal di rumah sendiri.” Jawab Dea memberikan alasan yang sama setiap anaknya bertanya kenapa setiap pagi dia harus dititipkan.

“Aku bisa, sekarang aku sudah besar!” Cetus Kevin.

Dea hanya menjawab celoteh Kevin dengan senyuman.

Saat sarapan, Kevin tampak enggan menghabiskan makanannya yang sudah Dea siapkan diatas meja makan. Cereal jagung dengan madu dan susu cokelat. Sekali lagi bujukan Dea yang penuh kasih sayang berupaya meluluhkan Kevin. “Apakah kamu demam, nak?” Tanya Dea sambil meraba kening anaknya.

“Tidak,” jawab Kevin singkat dan wajah yang cemberut.

“Buka mulutmu. Makan ini.” Dea memberi suapan untuk Kevin.

Kevin menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Aku tidak lapar.”

“Tapi Kev, Ibu terlambat kerja. Ibu harus pergi. Kemudian nanti di rumah Bibi Ema, kau pasti lapar sebelum makan siang,” satu suapan dari tangan Dea berhasil masuk ke mulut Kevin.

Dengan mimik yang lucu, sambil mengunyah makanan, Kevin mengadu, “Aku tidak suka makanan Bibi Ema sama sekali. Baunya sangat tidak enak.”

Dea tersenyum kecil mendengar penuturan Kevin yang polos. “Jangan berani-berani mengatakan itu depan dia, Itu akan membuatnya sedih,” kata Dea sambil menyeka mulut Kevin dengan tisu.

“Tapi rasanya buruk sekali,” ulang Kevin.

“Kumohon, Kev. Habiskan dan makan ini.” Akhirnya dengan sedikit usaha yang keras Kevin mau memakan makanannya. “Sekarang ayo pergi….”

“Bu, kita melupakan sesuatu.” ujar Kevin.

“Apa yang kita lupa, sayang?” tanya Dea

“Ikan….” Kevin berlari lalu memberi makan ikan kecil nya sambil berbicara pada ikannya. “Kau lihat betapa tidak adilnya ini? kau bisa tinggal di rumah sendiri. Tetapi aku tidak bisa.”

Dea hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar Kevin bicara pada Mimo ikannya, “Ayo pergi,” ucap Dea seraya mengambil tas biru Kevin.

“Apakah ibu mengambil buku aku?” sahut Kevin

“Iya.”

“Mobil-mobil aku?”

“Iya.”

“Dan Zıpzıp?”

“Ya, ibu bawa semuanya. Jangan khawatir. Ayo pergi…” Dea mengambil kunci rumah yang selalu dia letakkan disamping lampu baca.

“Bu, aku perlu buang air kecil,” ucap Levin. Ada saja permintaan Kevin agar dia bisa tetap di rumah.

“Sayang, tidak bisakah kau menahannya sampai ke tempat Bibi Ema?”

Kevin menggeleng.

“Oke, sana ke kamar mandi dulu.”

Kevin pergi ke kamar mandi. Entah kenapa tiba-tiba Dea merasa kepalanya berat dan pandangannya berkunang kunang. Kalau saja dia tidak menahan tubuhnya di tembok. Hampir saja Dea terjatuh pingsan

Bersambung...

Udara Roma siang itu sangat hangat. Orang orang lebih suka menghabiskan waktu mereka dengan berbincang ringan di sebuah Cafe atau menikmati angin pantai dengan keluarganya.

Sebuah Alfa Romeo Giulia berwarna merah melesat melintasi jalanan Via Venti Settembre. Mobil mewah keluaran terbaru ini tampak cantik melenggok dikemudikan pria muda berperawakan tinggi dan berwajah tampan itu. Tampak sekali dia sangat handal membawa kendaraan dengan semburan 480 tenaga kuda itu menuju D'Angelo Gastronomia Caffe.

Rayhan tersenyum simpul ketika melihat mobil itu mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Senyum lebar Aldi tersungging saat dia membuka jendela mobil barunya. “Kau pergi ke Italia untuk mendapatkan ini, bukan? aku seharusnya sudah tahu,” celetuk Rayhan.

“Ayolah...Ayo jalan.” Aldi merajuk.

“Aku senang di sini, terima kasih.” Tolak Rayhan yang sangat faham bagaimana kebiasaan sahabatnya itu mengendarai mobil.

Aldi tetap membujuk sahabatnya. “Ayo, Rayhan.”

“Tapi jangan dibawa ngebut ya,” pinta Rayhan sambil membuka pintu mobil baru Aldi.

Aldi hanya tersenyum kecil menanggapinya. “Jangan khawatir.” Cetus Aldi.

Rayhan langsung protes pada Aldi. “Kau bangun lebih awal dan melakukan hal-hal yang kau inginkan. Kita di Italia. Dengan persetujuan mu, mari kita lakukan beberapa hal yang aku inginkan juga,” tanpa bicara apa apa lagi Aldi langsung menginjak pedal mobilnya.

“Aldi!” Teriak Rayhan hampir tak terdengar diantara raungan mobil Aldi.

***

Sudah 3 hari Sasha di Roma. Pertemuan Dokter Pediatric Internasional itu menempatkan Sasha sebagai pembicara program pengobatan gagal ginjal pada anak anak yang dicanangkan beberapa tahun belakangan ini. Linda, sahabatnya menghampiri Sasha untuk memberikan ucapan selamat.

“Bagaimana tadi?” Tanya Sasha pada Linda.

Linda memuji penampilan Sasha, “Sangat sempurna!”

“Betulkah?”

“Itu sangat bagus. Sha, lihat. Aku harus memberitahumu ini. Kepala dokter kami mengatakan kepadaku untuk tidak kembali tanpamu,” Linda kembali membujuk Sasha agar mau bekerja di tempatnya.

“Aku menyukainya, tolong sampaikan salamku. Tapi itu tidak mungkin.” jawab Shasa.

“Betapa keras kepalanya kau,” dengus Linda sambil menyesap minuman di gelasnya.

Sasha langsung memberikan alasanya tidak mau bergabung dengan Linda. “Aku tidak bisa meninggalkan anak-anak aku ... aku masih menulis tesis aku, belum selesai.”

“Kau bisa menulis tesis mu bersama kami juga,” tampaknya Linda tidak menyerah begitu saja.

Shasa bersikeras dengan keputusan nya. “Aku bisa menulis tesis aku tapi anak-anak membutuhkan aku, Lin.”

“BAIK! Kita akan bekerja sama,” Linda memasang wajah cemberut.

“Jangan marah! apa yang kamu kerjakan hari ini?

Mengapa kau tidak ikut dengan aku?” Sasha berusaha mengalihkan arah pembicaraan mereka.

“Aku berhutang kepada tim. Kita akan makan siang. Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Linda.

“Pertama, aku akan berganti pakaian. Lalu aku pikir aku akan berbelanja dan….”

“Oke. Sampai jumpa di bandara…” Linda langsung memotong ucapan sahabatnya yang keras kepala.

Sore itu Sasha menghabiskan waktu di pusat pertokoan di Via Bocca de Leone. Iseng iseng dia masuk ke sebuah toko buku dan menemukan buku berjudul Toy’s for Boy’s yang berisi gambar gambar mobil mewah terkini beserta ulasannya. Sasha tersenyum kecil dia yakin Emir suaminya akan menyukai buku itu. Emir yang selama ini hanya mengelola bengkel mobil kecil miliknya bersama dua sahabatnya Indra dan Gery, selalu bercita cita mendesain sebuah mobil mewah yang terjangkau harganya. Segera Sasha ambil ponsel lalu menelepon pria tercintanya. “Halo, Emir. Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja, sayang. Bagaimana denganmu?” dari seberang sana suara Emir terdengar bahagia karena Sasha menghubunginya.

“Aku juga baik-baik saja. Aku akan segera menuju bandara….Sebentar Emir tahan…” Sasha terjebak di pintu putar toko buku. Aldi dan Rayhan bermaksud masuk ke dalam bersamaan dengan Sasha yang hendak keluar toko.

“Rayhan, kau belum pernah melihat pintu seperti ini sebelumnya, kan?” Ejek Aldi.

Sasha tertawa mendengar pembicaraan mereka, “Emir, kau tidak akan percaya ini. Tiga orang Indonesia terjebak di pintu putar di Italia! Luar biasa.” Sasha bergegas keluar meneruskan belanjanya. Sedangkan Aldi berjalan ke sebuah rak dimana dia yakin menemukan buku yang bagus sebelumnya. Anehnya buku itu sekarang tidak ada. Aldi memutuskan bertanya pada pelayan toko.

“Excuse me..i’m looking for book Toys for Boy’s?”

“I remembered we only have one left, maybe it sold.”

“Thank you…”

“Ayo pergi. aku kelaparan,” kata Rayhan. Mata Aldi malah tertuju pada sebuah pena yang dipajang di etalase toko lalu memerintahkan pegawai toko membawanya ke kasir karena dia berniat membelinya. “Wah lihat harga segitu. Bagaimana kau bisa membayar begitu banyak uang untuk sebuah pena? kau gila!” Rayhan tak habis pikir dengan selera sahabat nya ini.

Aldi dengan enteng menjawab. “Rayhan, seperti yang kamu tahu peradaban dimulai dengan menulis.”

Di Luar toko, Sasha segera memberi kabar suaminya tentang oleh oleh yang dia belikan. “Ingat buku tentang mobil yang kamu cari cari? aku telah menemukan di sini.” Ujar Sasha.

“Tidak mungkin, kau tidak membelinya, bukan? Buku itu pasti mahal, jangan dibeli,” sahut Emir.

Sasha tidak menggubris perkataan Emir. “Sayang, aku sudah dapatkan oleh oleh untuk ibu, tapi apa yang harus aku beli untuk Joyce? bantu aku.” Sasha meminta pendapat Emir tentang apa yang harus dia belikan untuk adik perempuan Emir.

“Bagaimana mungkin aku mengetahuinya. Kamu lebih tahu.” Jawab Emir. “Aku kira beberapa pakaian.”

“Oke, aku akan menemukan sesuatu aku akan meneleponmu sebelum berangkat. Emir, aku sangat merindukanmu.”

“Aku juga sayang. Hati hati. Aku cinta kamu. Selamat tinggal.”

Emir meletakkan ponsel selepas Sasha meneleponnya. Begitu rindunya Emir pada wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. Meskipun Emir merasa sebagai laki-laki dia belum bisa membahagiakan Sasha, dia hanya memiliki Kaz Speed bengkel yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, akan tetapi Sasha selalu menerima Emir apa adanya. Juga tulus mencintai ibu dan Joyce, adik perempuan Emir.

“Emir, kamu datang lebih awal?” suara Indra membuyarkan lamunan Emir.

“Pikiranku sibuk dengan sesuatu yang sedang aku kerjakan,” jawab Emir sambil kembali fokus pada layar monitor di hadapannya.

“Tapi kau tidak di sini sepanjang malam, kan?”

“Aku….”

“Kau pasti lapar….” Indra sangat yakin bahwa sahabatnya selalu lupa segala saat dia bekerja.

“Ya….”

“Dimana Gery? kita seharusnya memiliki pegawai. Dia malah belum membuka toko ini dari tadi.” Indra kesal pada Gery yang pemalas.

“Bagaimana dengan berat onderdilnya?” tanya Indra pada Gery.

“Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku meletakkan mesin di belakang dan itu menyebabkan masalah keseimbangan … Aku biarkan apa adanya … kemudian masalah bahan bakar. Aku tidak dapat menemukan jalan,” lapor Gery.

“Gery, jangan buat aku marah. Apa yang kamu pakai, seperti badut? Lepaskan kacamata.” Emir mengomentari penampilan norak Gery.

“Bos, jangan. Ini adalah filosofi ku, aku mengekspresikan diri seperti ini.” Gery membela diri.

“Jadi, aku akan menghancurkan filosofi mu dengan kunci pas….”

Buru-buru Gery merayu Emir supaya tidak marah. “Kau lapar bos? Tangan dan kakimu gemetar. Gula darah mu turun? biarkan aku pergi membeli rendang di warung Padang langganan kita … jadi kau tidak akan membunuh kita semua.”

“Kemarilah, apa kau tidak butuh uang?” Emir berniat memberikan gaji bulanan Gery.

“Masyaallah ... tentu saja … tidak ragu.” Gery langsung menerima amplop gajinya.

“Mengapa kau melihat ke luar terus? tanya Indra. “Apakah seseorang sedang menunggu?”

“Tidak ada, bos. Jangan melebih-lebihkan…” Akhirnya sesuatu yang ditunggu-tunggu Gery datang juga. Sebuah Honda Civic Nouva Th 1988 Hatchback Coupe hitam 2 Pintu, diderek mobil karena keadaanya hancur kini terparkir di Kaz Speed. “Ya Tuhan … dia datang!” Pekik Gery kegirangan.

“Apa yang ada di sini?” tanya Indra.

“Pelan-pelan, hati-hati….” Gery mengarahkan sopir dereknya. Sopir itu melepaskan derekkan sedikit kasar. “Apa yang telah kau lakukan? Kau sudah menghancurkan mobil,” maki Gery pada sopir.

“Mobil sudah hancur dari sananya,” jawab sopir enteng.

“Astaga apaan ini!” Emir keluar melihat keributan di luar.

“Mobil, bagaimana? Apa bos menyukai Pangeran Hitam saya? Ini adalah granat. Ini adalah roket.” Gery memuji mobil rongsokannya. Dia memaksa Indra dan Emir agar membantu memperbaikinya.

“Darimana kau menemukan mayat ini. Milik siapa ini?” tanya Indra.

“Milikku … aku beli dari kakakku.”

“Kau benar-benar bodoh! Beritahu saudaramu untuk mengambil ini ke dealer sampah.”

“Lihat mobil ini. Jika kita memperbaikinya, itu akan menjadi pesawat! Kita bisa memproduksi pesawat Indonesia pertama.” Sahut Gery lebay.

“Berhenti bicara omong kosong. Aku akan membuatnya. Tapi tidak sekarang.” Akhirnya Emir menyerah.

***

“Mereka membuat mobil yang luar biasa sekali lagi. Tahun depan mereka akan membuat yang lebih baik. lalu bagaimana? Apakah kah membeli yang itu juga? Ini tidak ada habisnya, Aldi …” Percakapan Aldi dan Rayhan yang berlanjut sambil minum kopi di dekat toko buku masih saja membahas impian Aldi memproduksi mobil sendiri.

“Aku punya rencana lain untuk tahun depan,” jawab Aldi.

“Apa? Apakah kau membeli pesawat ruang angkasa?” Rayhan menyindir Aldi yang terlalu mudah membuang-buang uangnya.

“Rayhan, aku memberitahumu satu hal dan kau segera berbicara sampah.” Aldi kesal karena Rayhan selalu saja mengkritik nya.

“BAIK. Aku tutup mulut.”

Seorang pelayan menghampiri mereka dengan selembar tagihan di tangannya. Aldi mengeluarkan pena barunya dan menandatangani bill. “Grazie….”

Wajah Rayhan tiba-tiba pucat. Dia melepas beberapa kancing atas kameranya. “Aku tidak tahu aku merasa seperti aku…” Rayhan kesulitan bernafas.

“Ayolah … jangan main-main. Wanita mana yang sudah kau lihat?” Aldi melirik kanan kiri menganggap bahwa Rayhan sedang mengerjainya.

“Aku tidak merasa baik … Aku tidak bisa bernafas.” Rayhan tercekat dan jatuh dari kursinya. Aldi syok melihat keadaan temannya yang beberapa saat baik-baik saja kini kesulitan bernafas.

“Rayhan, kamu baik-baik saja, ada apa kamu? Tolong panggil ambulans!” Aldi panik meminta bantuan orang-orang di dekatnya.

Sasha yang baru saja keluar dari toko pakaian segera berlari menghampiri teriakan minta tolong yang dia dengar lantas dengan sigap melakukan pertolongan pertama pada Rayhan. “Dia dalam syok anafilaksis*.”

“Apa?” Aldi kebingungan.

“Dia tidak bisa bernapas!” Sasha membuka tasnya lalu mengeluarkan gunting kecil dari kotak kosmetik lantas merendamnya dalam gelas whiskey yang dia temukan di atas meja. Sasha berniat membuat lubang di leher Rayhan agar dia bisa bernafas.

“Hei! Apa yang sedang kamu lakukan?” tangan Aldi menghalangi gunting yang dipegang Sasha.

“Aku mencoba membuatnya bernafas. Jangan sentuh aku!” bentak Sasha pada Aldi. “Sedotan? Aku butuh sedotan.” Sasha berteriak sambil menahan gunting kecil dengan tangan kiri. Untuk kali ini Aldi hanya diam saja, membiarkan wanita asing menolong sahabatnya. Sasha tidak bisa menemukan sedotan. Dia hanya melihat pena diatas meja dan langsung melepasnya menjadi dua bagian. Bagian atas tempat keluar isi pena kini sudah menancap di leher Rayhan. Rayhan pun bisa bernafas.

Tak berapa lama kemudian ambulans datang. Petugas segera memasukan Rayhan ke dalam ambulans dan membawanya ke RS. “Jangan khawatir, temanmu akan baik-baik saja. Aku ikut kamu … aku mungkin perlu memberi tahu dokter apa yang terjadi.” Aldi dan Sasha ikut ke RS dengan ambulans.