HotBuku

Histoire D'amour With Wibu
4.8
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

“Jenny! Pulang bareng yokk!”, temanku Dewi dan Miya sudah menungguku di depan pintu kelas “iya..iya sabar napa ah! Lagi beresin buku nih!” aku pun bergegas memasukkan buku yang ada di mejaku untuk dimasukkan ke dalam tas.

“lu lama amat sih masukin buku doang udah ngebuang waktu 2 menit gue!” gerutu Miya kesal “yeee gue kira kalian bakal pulang duluan kek kemarin noh, yang ninggalin gue duluan siapa?! Gak sadar diri lu pada,” omelku.

Miya dan Dewi pun terkekeh “ya maaf.. abisnya kelas lu paling belakang mulu kalo soal jam pulang.. gue sama Dewi kan jadi males nungguinnya” ucap Miya sembari membetulkan kerudungnya.

“yaudah jen.. lupain ajalah yang kemarin, buktinya gue sama Miya masih nungguin lu kan? Maaf yakk Jenong” ucap Dewi sambil menyenggol pundakku. Kedua temanku ini sudah menemani hari-hariku di masa sekolah yang sulit. Di saat semua orang munafik di depanku dan di saat aku selalu sendirian di kelas, merekalah yang selalu ada dan menemaniku untuk sekadar jajan ke kantin atau hanya menggosip di depan kelas sambil menunggu jam istirahat selesai.

Tapi.. jujur saja, aku terkadang iri pada mereka, Miya adalah perempuan yang cantik yang memiliki banyak fans lelaki. Bahkan, ia selalu bergonta-ganti pasangan setiap bulannya. Selalu ada cerita baru dari pengalamannya menjadi seorang playgirl hehehe *jangan ditiru teman-teman.

Sedangkan Dewi, ia perempuan yang gampang akrab dengan seseorang, tidak heran ia memiliki banyak teman dari setiap kelas. Selain itu, dia selalu blak-blakan jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sedangkan aku? Aku tidak bisa seberani dia.

Aku hanya seorang perempuan yang bertubuh gemuk dan lahir di keluarga biasa saja. Kedua orangtuaku hanya membuka usaha warung sembako di depan rumah. Aku tipikal orang yang memiliki kepribadian introvert, aku pun tidak bisa seberani Dewi dan tidak bisa seberhasil Miya untuk mendapatkan hati seorang lelaki.

Aku hanya bisa terus menerus giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus agar kedua orangtuaku bangga. Karena hal inilah, aku tidak pernah terpikirkan untuk mencari dan mencoba mendapatkan hati seorang lelaki.

Namun, semuanya berubah ketika aku naik ke kelas 3 SMA. Aku bertemu dengan seorang lelaki yang mencuri perhatianku, dia bernama Raditya Fauzi. Setiap aku bertemu dengan dia, entah mengapa aku langsung merasa gugup tak karuan, tanganku terasa dingin dan gemetar.

Aku masih ingat saat itu, ketika aku berpapasan dengannya di perpustakaan. Dia sedang tertidur pulas di samping meja. Aku selalu memerhatikan wajahnya yang lumayan tampan, wajahnya bersih dan putih, hidungnya mancung dan bibirnya berwarna merah merona dengan tahi lalat kecil di pipinya.

Dia terlihat sangat tampan ketika sedang tertidur dengan menggunakan setelan baju koko berwarna putih dan peci hitam di kepalanya, karena pada hari itu kebetulan adalah hari Jumat, waktunya mengenakan pakaian muslim.

Tanpa sadar aku telah memerhatikannya cukup lama, dan dia pun terbangun. Sontak aku langsung mengalihkan pandanganku ke buku yang kupegang “tadi.. dia tau gak ya kalo gue ngeliatin dia terus?” gumamku dalam hati.

Ketika aku berbalik untuk kembali ke kelas, dia pun sudah pergi tanpa sepengetahuanku. Saat itu aku berharap, dia tidak melihatku yang sedang terpana didepannya.

Semenjak saat itu, aku selalu berpapasan dengannya, hingga suatu hari dia mencariku ke kelas. Jantungku berdetak tidak karuan dan tanganku langsung berubah menjadi dingin “duhhh.. ngapain sih dia pengen ketemu gue” gerutuku kesal “apa dia tau ya gue waktu itu merhatiin dia? Atau jangan-jangan dia mau nembak gue depan semua orang kek ala drakor gitu? Hehehe” gumamku sambil terkekeh. Tapi.. aku tahu semua itu tidaklah mungkin karena kenalan aja belooommmmm..

Akhirnya aku pun memutuskan menemui dia di depan kelas.. saat aku melihat langsung wajahnya, aku merasa panah cinta langsung menusuk jantungku! Gilaaakkkkk.. ganteng banget wooooyyyyy! Dia lebih tampan pas lagi hidup(?).

Tiba-tiba Dewi dan Miya sedang memata-mataiku di depan kelas mereka, karena kelasku dan kelas mereka bersebelahan. Rasa gugupku semakin bertambah, karena teman-teman sekelasku pun ikut memerhatikan. Aku merasa jadi pusat perhatian dalam sekejap, dan hal ini sungguh tidak menyenangkan bagiku.

Dengan mengumpulkan semua keberanianku, aku pun mencoba berani membuka pembicaraan lebih dulu “a..adaa apa lu nyariin gue?” dia pun hanya tersenyum kecil sambil mengusap hidungnya yang tidak gatal dengan gaya kerennya. Saat dia tersenyum, perasaanku padanya bertambah, dengan lesung pipi kecil yang ada di dekat bibirnya, dan matanya yang indah seperti oppa-oppa.. ia begitu keren dan tipe gue bangeeeettttt.

“Gak ada apa-apa si.. gue cuman mau nanya sesuatu ke lu aja” jawabnya simple, pikiranku pun langsung tertuju pada kejadian di perpustakaan, “mampusss! Gue ketauan nih pastii” gerutuku dalam hati.

“tt.tterus lu mau nanya apa? Sok aja tanya, selagi gue bisa jawab ya gue jawab” ucapku sambil mencoba untuk mengatur kata-kataku yang terbata-bata. Dia pun hanya tersenyum dan langsung mengeluarkan selembar kertas dari sakunya.

“Jangan-jangan dia mau nembak gue pake surat?!” batinku, “gue cuman mau nanya soal ini, sini deh deketan lu nya, biar gue bisa nanya lebih jelas” sambil mengayunkan tangannya padaku.

Miya dan Dewi pun langsung menertawakan kegugupanku yang tidak bisa aku kontrol lagi. Perlahan ku dekati Radit, lalu aku pun berdiri disebelahnya dengan jarak yang cukup dekat. Radit pun semakin mendekat dan menyodorkan kertas di depanku “nih, gue mau nanya soal matematika, lu bisa jawab kagak yang ini? caranya gimana si?” ucapnya santai.

“Anjirlah yee.. gue udah gugup setengah mati sampe diperhatiin semua orang cuman buat nerima kertas yang isinya soal matematika? Lu mikir apa sihhh Jennnnn....” gerutuku dalam hati.

“ohh.. ini sih gue bisa kok, jadi kalo nyelesaiin soal matriks tuh, baris dikalikan dengan kolom” sambil ku tunjukkan cara mengerjakannya, Radit hanya memerhatikan tanganku yang bergerak di kertasnya. Disitu gue merasa heran, darimana dia tahu kalo gue jago di pelajaran itu?

Setelah selesai, dia pun mengambil kertasnya dan memasukkannya kembali ke sakunya “thanks ya Jen” sambil menyodorkan tangannya. “maksudnya apa si? Dia mau salaman sama gue? Pas keadaan tangan gue yang gemeteran dingin gini? Omaiyyygaaaatttttttttt!” batinku.

Aku pun terpaksa memberikan tanganku dan bersalaman dengannya dengan kondisi tanganku yang gemetaran dan dia hanya tersenyum dengan manisnya. Gatau diri banget sih sumpah hahaha.

Saat Radit pergi, Dewi dan Miya segera mendekatiku. Hmmm.. pasti mereka mau ledekin gue nih. “Ceileh seorang Jenny akhirnya punya pacar juga nih! Ditembaknya juga pake cara kuno pula hahaha” ledek Miya dan Dewi bersamaan.

Aku pun hanya bisa terkekeh dan mereka pun langsung tahu bahwa aku memang menyukai Radit “sejak kapan lu suka dia?” ucap Miya. Aku pun langsung menceritakan semua kejadian saat di perpustakaan dan kejadian sebenarnya yang dilakukan oleh Radit barusan,

“Oooohhh gue kira lu ditembak ahahhaha..eh ternyata soal matematika lebih penting daripada merhatiin kecantikan lu hahaha” Dewi langsung tertawa keras ketika aku menceritakan kejadian sebenarnya.

“tapi jen.. menurut gue lu jangan terlalu deket deh sama Radit, soalnya gue denger dia cowo playboy gitu.. biasalah cogan kan selalu memanfaatkan kegantengannya hahaha” ucap Miya, “iya kan kek lu tuh, cewek playgirl yang memanfaatkan kecantikannya hahahha” balasku dengan kesal sembari berbalik untuk kembali ke dalam kelas.

Miya dan Dewi pun langsung kembali ke kelas mereka karena bel sudah berbunyi. Perasaanku tidak karuan dan kesal pada Miya, di saat aku mulai menyukai seseorang, dia dengan entengnya memberitahu berita yang membuat nyaliku ciut. Tapi, apa yang dikatakan Miya tidak sepenuhnya salah, karena Radit memang cowok tampan yang populer dan disukai oleh banyak perempuan, jadi wajar saja jika dia menjadi seorang playboy.

Cerita cintaku di masa SMA tidak berakhir begitu saja, aku belum memulainya, jadi aku harus mencobanya dulu untuk mengetahui hasil sebenarnya, apakah aku bisa bersama dengan Radit atau kandas untuk pertama kalinya dalam cinta.

Jenny Alexandra.. nama yang bagus bukan? Yap! Aku adalah anak pertama dari pasangan Jordie Alexandra dan Meilina. Aku memiliki seorang adik bernama Julian Alexandra dan kami semua adalah sebuah keluarga yang cukup sederhana.

Awalnya ayah adalah seorang pebisnis yang sukses, namun karena suatu masalah, akhirnya ayah dikeluarkan dari perusahaan dan mulai hidup sederhana di sebuah desa yang kami tempati sekarang.

Aku bersyukur bisa hidup di tengah keluarga seperti ini, karena kami semua saling menyayangi layaknya keluarga yang harmonis, walaupun sebenarnya pertengkaran-pertengkaran kecil selalu ada di dalam keluarga hehehe..

Saat aku SD, aku selalu dijuluki dengan “anak gajah” atau umpatan kasar lainnya, karena tubuhku gemuk dan belum terlalu memikirkan penampilan. Hingga SMP, masih saja ada orang yang meledekku dengan kata-kata tersebut hingga membuatku kurang percaya diri dan selalu menutup diri dari siapapun, terlebih lagi dengan lawan jenis.

Aku hanya bisa akrab dengan teman sebangkuku atau teman yang “bisa” akrab denganku, dan tidak ada satu laki-laki pun diantaranya. Aku merasa minder dengan penampilanku, walaupun teman-temanku selalu bilang bahwa aku cantik, walaupun tubuhku gemuk, kulitku putih bersih dan ada lesung pipi di wajahku yang membuat wajahku terlihat manis. Tapi tidak dengan pandanganku, karena aku merasa, tidak ada satu laki-lakipun yang pernah dekat denganku.

Hingga aku mulai memasuki masa SMA, masa dimana aku sudah mulai memasuki masa pubertas dan mulai mementingkan penampilan. Jadi, tidak hanya nilai pelajaran saja, tapi tampilanku pun harus diubah. Walaupun tubuh gemukku sulit untuk dihilangkan, tapi aku masih bisa merawat kulitku dan penampilanku saat bersekolah agar tidak terlihat norak atau “jelek”.

Awalnya aku merasa, masa SMA itu indah, aku juga merasa bahwa aku akan mendapatkan teman yang banyak dan mulai bergaul dengan laki-laki di SMA. Bahkan, mungkin di SMA aku akan mendapatkan seorang kekasih dan mulai merasakan apa itu cinta?

Namun, itu hanya mimpi belaka hahahha.. Saat pertama aku masuk SMA, yaa.. seperti biasa belajar, kerja kelompok dan lain-lain. Tapi, karena aku selalu mendapatkan nilai yang bagus dan tidak gampang untuk akrab dengan orang lain, teman kelasku mulai memanfaatkanku dan selalu membicarakan hal-hal negatif yang dilebihkan tentangku.

Jenny si gendut yang pelit, Jenny si jelek yang kuper, dan omongan-omongan lainnya. Teman kelasku, selalu sok baik didepanku agar bisa menyontek PR ku, walaupun mereka jahat di belakangku, aku hanya bisa diam dan tidak melakukan apa-apa. Karena, jika aku memberontak, aku khawatir hari-hariku di masa SMA dihabiskan sendiri dan tidak memiliki teman.

Hingga aku naik ke kelas 3 SMA, aku selalu mendapatkan teman sekelas yang munafik, dan mirisnya lagi, Dewi dan Miya tidak sekelas denganku. Padahal, kelas 1 dan 2 aku selalu sebangku dengan Dewi dan kini di kelas 3, Dewi satu kelas dengan Miya. Awalnya aku merasa akan selalu sendirian di kelas, namun ternyata sekolah tidak terlalu jahat padaku, aku bertemu dengan Yanti, teman sebangkuku di kelas 3.

Yanti anak yang baik, dia selalu sharing ilmu pelajaran tentangku, walaupun Yanti selalu bergabung dengan teman kelas yang lain, tapi setidaknya, aku tidak merasa sendirian di kelas 3. Toh, masa-masa kelas 3 SMA itu lebih cepat dari yang dibayangkan bukan?

Aku pun bertemu dengan Dwi dan Resti, mereka berdua adalah teman kelasku yang duduk di belakangku. Mereka berdua adalah teman yang baik dibandingkan yang lainnya, mereka seperti pengganti Miya dan Dewi. Dwi dan Resti seperti dikucilkan di kelas karena mereka sangat pendiam, bahkan lebih pendiam dariku?

Setidaknya, di masa terakhirku di SMA, aku tidak sendirian. Ada Miya, Dewi dan teman kelasku yang cukup akrab denganku. Semoga saja, tidak ada masalah yang bisa memberatkan hari-hariku di sekolah.

Sedikit cerita tentang teman dekatku, Miya atau Miyabi. Dia adalah seorang wanita yang cantik, wajar saja jika ia dicap sebagai “playgirl” karena wajah dan penampilannya yang merupakan idaman para lelaki. Adik-adik kelas banyak yang jatuh hati padanya, tapi ia selalu memilih-milih pasangan dan selalu mengakhiri hubungan karena alasan “bosan”.

Terkadang aku iri pada Miya, dia sudah beberapa kali merasakan cinta, banyak yang menyukai dia hingga ia bisa memilih-milih pria yang ia suka. Aku sudah mengenal Miya sejak kelas 1 SMA, dia adalah teman Dewi. Yang ku suka dari Miya adalah, dia selalu berkata jujur, walaupun terkadang perkataannya selalu membuat orang sakit hati.

Dewianita atau Dewi, teman sebangkuku sejak kelas 1 sampai 2 SMA. Kami harus berpisah ketika kelas 3 SMA karena sekolah yang mengatur semuanya. Dia adalah teman yang humble, cepat akrab dengan orang dan dia selalu menjaga omongannya agar tidak membuat lawan bicaranya sakit hati, tidak seperti Miya yang terkesan blak-blakan.

Dewi sangat baik dan selalu memahamiku, oleh karena itu, saat aku harus berpisah dengannya di kelas 3, aku merasa kehilangan sosok Dewi yang selalu ada ketika aku ingin curhat atau mengeluh tentang sifat teman kelasku yang bermuka dua.

Dwi, Yanti dan Resti, mereka bertiga adalah teman kelasku di kelas 3. Kami cukup akrab, tapi hanya mengobrol seperlunya saja seputar tugas atau hal yang menyangkut pelajaran dan kelas. Dwi dan Resti selalu berdua kemanapun mereka pergi, dan Yanti selalu berkumpul dengan teman kelas, sedangkan aku selalu mendatangi Dewi dan Miya yang berada di kelas sebelah.

Sebenarnya, ada beberapa kejadian di sekolah yang sempat membuatku khawatir dan drop. Pernah suatu hari, ketika aku pulang sekolah sendirian, tiba-tiba teman kelasku menabrakku tanpa sengaja. Walaupun tidak ada luka parah, tapi kakiku langsung terasa nyeri, lebam dan bengkak hingga membuatku sulit berjalan.

Teman yang menabrakku itu tidak merasa bersalah sedikit pun dan aku tidak berani untuk marah padanya, jadi aku hanya bisa bilang bahwa aku baik-baik saja, pengecut sekali bukan? Hingga keesokan harinya, aku tidak bisa berangkat ke sekolah karena bengkak di kakiku belum juga sembuh dan masih membuatku sulit berjalan.

Karena kedua orang tuaku merasa kasihan dengan kondisiku, akhirnya ibu dan ayah mulai bertanya tentang siapa yang menabrakku waktu itu. Awalnya aku selalu menutupi nama temanku itu, dan tidak ingin memperpanjang masalah karena hal ini kuanggap sepele. Tapi, kedua orang tuaku tetap memaksaku untuk bilang dengan jujur, dan akhirnya ku beritahu siapa nama temanku itu.

Keesokannya, saat aku ingin pergi ke sekolah, ibu dan ayah melarangku untuk pergi. Mereka bilang, temanku yang menabrakku waktu itu akan datang ke rumah “kenapa dipanggil sih bu? Ini tuh gapapa, aku juga sekarang udah mendingan kok.. kalo gini kan jadi panjang urusannya” gerutuku pada ibu “apanya yang baik-baik aja? Itu kaki kamu lebam sampe bengkak banget tau gak?! Ibu sama ayah sampe harus manggil tukang urut dan bawa kamu berobat karena kamu juga sempat demam, dia harus belajar tanggung jawab!” omel ibuku.

Aku pun tidak bisa berbuat lebih dan menuruti kemauan ibu dan ayah. Dan benar kata ibu, temanku datang sendirian ke rumah. Ayah dan ibu menasihatinya untuk bertanggung jawab dan menegurnya karena mengendarai motor sembarangan. Dia pun hanya bisa menunduk dan menjawab “iya” seolah-olah dia benar-benar menyesal.

Hingga keesokan harinya, saat aku memasuki kelas, semua omongan-omongan pedas yang menyindir diriku langsung memenuhi ruangan “cuman lebam dikit doang lebay banget gak masuk 2 hari!” “gitu doang minta tanggung jawab, gue aja yang keserempet mobil kemarin langsung masuk besoknya!” dan cibiran-cibiran lainnya yang tertuju padaku. Aku hanya bisa berpura-pura tidak mendengar karena jika aku ladeni, pasti akan ada keributan besar.

Yah.. ternyata, temanku yang menabrakku waktu itu telah menceritakan semuanya pada teman-teman kelas. Aku merasa kesal campur sedih, aku tidak bisa melawan karena aku tidak mau merasa canggung di kelas. Tidak ada yang bisa membelaku di saat aku kesusahan, andai saja Dewi dan Miya ada disini..

Selama seminggu, teman-teman kelasku menjauh dariku. Mereka selalu mencibirku secara terang-terangan dan masih kubiarkan. Aku tidak berani melawan karena aku takut akan terasa canggung jika aku melawan mereka, diam adalah caraku menyelesaikan masalah tanpa harus menghabiskan tenagaku dengan emosi pada hal yang tidak jelas.

“Lu bisa hadepin ini Jen.. ini bukan pertama kali semua orang mencibir lu.. semangattt!” ucapku dalam hati untuk menyemangati diriku sendiri dan menenangkan pikiranku. Sepulang sekolah, tiba-tiba saja Dewi dan Miya mengajakku ke tempat makan favorit kami. Aku pun langsung mengiyakan ajakan mereka, hitung-hitung refreshing bukan?

Di warung seblak..

Seperti biasa, kami bertiga langsung memesan menu favorit kami yaitu semangkok seblak.. Dan tiba-tiba saja Dewi dan Miya saling menatap satu sama lain lalu berbalik menatapku dengan tatapan serius, aku merasa ada hal yang mereka sembunyikan disini dan...

“Jen.. lu bener gapapa?? Kalo lu mau cerita.. gue dan Miya siap dengerin kok..” ucap Dewi sambil menatapku serius, “iya Jen.. kalo bisa sih gue mau labrak tuh temen-temen kelas lo yang sok bener! Sama siapa tuh yang nabrak lu waktu itu? Si Gibran kan?! Nah sekalian gue tabok tuh mulutnya yang emberrrr!” tatapan Miya penuh amarah seperti dia yang merasakan hal itu. Aku pun hanya bisa tersenyum kecil dan merasa terharu dengan perhatian mereka.

“Thanks ya guys.. gue gapapa kok.. sebenernya ini hal kecil yang dibesar-besarkan si Gibran aja sii.. dan lagian ortu gue juga sok-sokan banget buat minta tanggung jawab dari si Gibran.. kek masalah besar aja” ucapku sambil berusaha menutupi rasa kesedihan.

“Justru ortu lu kaya gitu karena sayang banget sama lu.. masih bagus ortu lu ngomong baik-baik ke Gibran, cuman si Gibrannya aja noh yang bikin berita berlebihan!” ucap Miya sambil menggebrak kecil tangannya ke meja “santai..santai hehe.. iya sih ortu gue emang sayang banget sama gue. Bagus juga ortu gue minta tanggung jawab ke dia, karena sekecil apapun masalah ya harus punya rasa tanggung jawab buat nyelesaiinnya kan?” ucapku sambil berusaha terlihat baik-baik saja di depan mereka.

Tidak lama kemudian, pesanan kami pun datang.. “udah yuk guys.. kita makan dulu aja, baru ngobrol-ngobrol lagi..” sambil menyendokkan sambal di mangkok berisi seblak yang ada di depanku “yaelah Jen.. keadaan lagi kek gini aja masih bisa lu santai ye.. yaudahlah kita lupain aja dulu semua masalah dengan semangkok seblakkk” ucap Dewi sambil mengaduk seblak miliknya dan diikuti dengan Miya yang masih menatapku sinis.

“Gue aneh sama lu Jen.. kok lu bisa tahan sih sama cibiran mereka yang terang-terangan? Udah lama juga loh mereka jauhin lu.. pas butuh aja mereka deketin dulu, giliran berita gitu doang aja langsung ngecibir hahaha lucu kek bocah!” gerutu Miya kesal. Aku pun hanya bisa tersenyum dan berusaha tetap tegar, walaupun sebenarnya aku sudah tidak kuat menahan amarah dan rasa sedihku yang bercampur aduk sejak lama.

“Awas lu Gibran! Ortu gue udah ngomong baik-baik ke lu.. tapi lu malah ngefitnah gue dengan ngelebih-lebihin begini!” gerutuku dalam hati. Semoga saja, aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan laki-laki semacam Gibran, yang membesar-besarkan masalah dan membuatku dicibir semua orang di kelas. Aku yakin, Gibran pasti melebihkan cerita, dia pasti membuat aku dan orang tuaku terkesan jelek.

Tidak terasa, mangkok seblak yang tadinya terisi penuh sudah habis bersih, tidak lupa dengan minuman favorit yang kami pesan yaitu segelas es teh manis yang bisa menghempas semua rasa pedas yang ada di lidah..

“Wuidih! Emang bener ye es teh manis itu paling seger dah! Gue berasa lupa sama masalah gue hahahah!” ucapku sambil membuat suasana menjadi hangat kembali “Jen.. inget ya.. kalo lu ada masalah, lu harus bilang ke kita, kalo lu butuh bantuan, kita ada kok!” tatapan Miya dan

Dewi penuh perhatian padaku, dan aku tidak bisa membendung air mataku lagi..

Tanpa sadar, air mataku menetes dan mereka pun menyadarinya bahwa daritadi aku hanya bisa berpura-pura kuat “gapapa Jen.. keluarin aja.. kita selalu ada buat lu..” ucap Dewi sambil mengusap-usap tanganku. Aku sangat bersyukur memiliki teman sebaik Dewi dan Miya di sekolah, terlebih lagi ketika aku sedang di masa sulit seperti ini, mereka selalu mendukungku apapun keadaannya.

“Kalo mereka udah berlebihan.. lu hajar aja mereka ya Jen.. masa lu kalah sih sama benalu kek mereka?? Iya gak Mi?” ucap Dewi sambil menyenggol lengan Miya dan diikuti dengan anggukkan kepala dari Miya.

“Lu gak sendiri Jen.. ada kita kok!” semangat dari mereka membuatku cukup kuat untuk bertahan. Dan tidak terasa, waktu sudah semakin sore, kami bertiga pun bergegas untuk pulang ke rumah. Untung saja, tempat makan favorit kami tidak jauh dengan rumah.

Keesokan harinya di sekolah.. seperti biasa, aku hanya bisa berdoa bahwa teman-temanku sudah mulai “diam” dari aktivitas mereka. Dan... yaaa mereka sudah mulai tidak membicarakanku lagi, keadaan kelas sudah seperti biasa lagi dan Gibran dengan tidak tau malunya malah tetap menjauhiku, seolah-olah aku yang salah.

Yahh... sudahlah bodo amat! Toh gak ada ruginya kok.. Gibran cuman teman selewat yang aku kenal di masa SMA, dia tidak akan mengganggu dan bertemu denganku lagi setelah lulus dari sekolah ini.

Selama di kelas sudah normal kembali, aku mulai merasa tenang mengikuti pelajaran dan teman kelasku mulai melakukan kebiasaan mereka kembali, yaitu mencontek hahahha.. Mereka memang benalu tapi masih ku biarkan walaupun sudah membuatku merasa tidak enak selama di kelas.

Salah dan benar tidak akan tertukar.. itu prinsipku selama ini. Walaupun mereka selalu membicarakanku di belakang, aku tidak peduli selagi itu tidak menyinggung keluargaku. Semoga saja, aku bisa bertahan selama di sekolah yang membosankan ini.

Walaupun aku selalu diam setiap ada orang yang selalu menyakitiku, dalam hatiku, aku sangat ingin melawan mereka. Tapi, aku bukan tipe orang yang ingin membuat keributan, itulah alasanku memilih untuk diam.

Terkadang aku berpikir, semenjak aku SD hingga SMA, kenapa selalu ada teman yang tidak menyukaiku? Terlebih lagi semenjak SMA, circle pertemananku semakin mengecil. Terkadang aku berpikir “nanti.. kalo kuliah, gue sendirian juga gak ya? Nanti ketemu temen kaya Dewi dan Miya lagi gak ya?” aku sebenarnya takut sendirian, aku takut tidak punya teman.

Tapi, mungkin saja seiring waktu, sifatku dan keberanianku akan mulai muncul. Semoga saja, aku tidak akan diam lagi ketika semua orang mencibirku, semoga saja aku lebih berani untuk membuka diri dan akrab dengan teman sekitar, dan semoga saja suatu saat nanti aku akan merasakan yang namanya cinta dan memiliki seorang pasangan.

Ya.. semuanya akan berubah seiring waktu bukan? Manusia pasti berubah, dan aku berharap, orang-orang yang selalu melakukan “body shamming” mengerti apa itu cara menghargai orang lain, dan mengerti bahwa dikucilkan dan difitnah itu sangat tidak enak.

Tuhan telah menciptakan segalanya dengan sempurna. Dan setiap manusia yang Tuhan ciptakan berbeda dan memiliki keunikannya tersendiri. Bukankah dengan kita menghina fisik orang lain, kita telah menghina ciptaan Tuhan?

Jenny jadi sok bijak nih ya hehehe... dan tiba-tiba..

“Jen.. Jenny! Woy Jennyy!” terdengar suara teriakkan Dewi dan Miya yang memanggilku dari kejauhan “Woy! Jenong! Lu lagi ngapain si di depan kelas? Ngelamun aja lu!” ucap Miya sambil menepuk punggungku dengan keras.

“Eh sorry sorry.. gue lagi ngelamun tadi hahaha” ucapku sambil menggaruk hidung yang tidak gatal, “halah.. masih ada masalah di kelas?” ucap Dewi sambil melihat ke dalam kelas.

“Gak kok.. udah aman sekarang ahhaa.. mereka udah pada diem semua, cuman si Gibran aja yang masih sok ngejauh gitu” ujarku santai. “Yaelah Jen.. udahlah biarin aja.. btw sebelum bel masuk, ke kantin dulu yuk!” ucap Miya sambil menarik tanganku.

Kami bertiga pun langsung pergi ke kantin sambil menunggu bel masuk, disini aku bersyukur, aku masih memiliki teman yang peduli denganku, semoga saja kami akan terus berteman hingga kami dewasa.