HotBuku

He Is Beautiful
5
Pratinjau Konten Yang Menyenangkan

Namaku Marsya Aurely, usiaku sekitar 22 tahun. Dalam hidup ini aku sama sekali tak berniat untuk dekat dengan pria manapun, apalagi untuk menikah, aku sangat alergi terhadap pria, apalagi pria tampan.

Aku menjadi begini bukan tanpa alasan. Semua karena trauma masa laluku yang menyakitkan, dimana ayah kandungku telah tega meninggalkan aku dan ibu saat bahkan aku masih di dalam kandungan.

Hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, membuatku memiliki pandangan berbeda tentang pria, menurutku mereka adalah mahluk yang hanya akan menyakiti para wanita. Dan aku tak ingin di sakiti oleh mahluk yang bernama pria.

Satu hari yang lalu...

"Kedatanganku kemari ingin melamar Marsya untuk Leo, putra kami," Ujar Dave, yang merupakan ayah angkatku yang baru saja datang dari kota bersama istrinya, Erika. Setelah sekitar 17 tahun berlalu mereka baru berkunjung lagi kemari dan tiba-tiba membawa berita yang mengejutkan itu. Sekarang sepasang suami istri itu tengah bicara dengan ibuku, Rihana dan juga kakekku di ruang tamu rumah kami. Sedangkan aku hanya mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu kamarku yang ku buka sedikit.

"Sekarang mereka berdua sudah sama-sama dewasa dan sudah cocok untuk berumah tangga!" Sahut istrinya, Erika, turut menambahkan omongan suaminya, dan ku lihat Ibu dan kakekku hanya tersenyum seraya mempersilahkan mereka untuk minum. Dari raut wajah Ibu dan kakek, aku bisa melihat kalo mereka sepertinya juga setuju dengan rencana pasangan suami istri yang tengah berbincang ringan dan sesekali tertawa bersama mereka.

"Kalo saya terserah pada Marsya saja, kalo saya setuju-setuju saja." Jawab ibu ku akhirnya seolah memperjelas arti senyumannya sejak tadi.

Ah... aku tidak mau menikah, apa lagi dengan pria tampan.

Dan setelah kedua belah pihak tampak setuju, ku lihat Ayah angkatku dan istrinya segera berpamitan untuk undur diri, aku sempat keluar dan menyapa mereka sekilas sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam mobil kemudian melesat pergi.

Jujur pembicaraan singkat antar dua keluarga di ruang tamu tadi seolah memaksa otakku untuk berpikir keras. Bagaimana caranya aku menolak dan menghindari perjodohan ini? Setelah sebelumnya aku dengan bodohnya mengiyakan saja karena merasa tidak enak pada ayah angkatku, Dave, yang membiayai pendidikan sekolahku hingga tuntas.

Aku benar-benar berada pad situasi yang rumit saat itu, hingga sebuah ide gila pun tercetus di kepalaku.

Malam itu juga aku melarikan diri pergi ke ibu kota dengan persiapan dan uang seadanya. Aku nekat melakukannya karena aku merasa tak punya pilihan lain.

Hingga pada akhirnya, pagi ini, aku sudah berada di kota yang sangat asing bagiku.

"Hai... nona, bangunlah! kita sudah sampai di pemberhentian terakhir." Ujar Sang kondektur bus yang berusaha membangunkanku. Sejenak aku mencoba mengerjapkan mataku, mencoba mengumpulkan nyawaku kembali ke dalam dunia nyata. Ku lihat kesekelilingku sudah tampak sepi dan tak ada seorang penumpang pun selain aku. Aku pun mulai bangkit berdiri, kemudian melangkah pelan turun dari bus.

Dengan tas ransel besar di punggungku, aku mulai mengedarkan pandanganku ke sekeliling area terminal yang sudah tampak ramai orang berlalu lalang meskipun matahari belum muncul dengan sempurna.

Entahlah, aku akan pergi kemana setelah ini, aku sama sekali tak punya tempat untuk ku tuju. Tidak ada yang ku kenal di kota ini, kecuali keluarga ayah Dave, tapi aku tak mungkin pergi kesana kan? Karena kepergian ku ini justru ingin menghindari perjodohan ini.

Aku pun tetap melangkahkan kakiku perlahan meskipun aku belum tahu arah tujuanku.

Matahari sudah mulai tampak meninggi saat aku sudah merasa kelelahan berjalan kaki dan akhirnya langkahku pun terhenti di sebuah halte bus, untuk sejenak aku duduk disana beristirahat melepaskan lelah.

Tiba-tiba saja seorang pria berlari ke arahku dan melemparkan sebuah benda tepat di pangkuanku, dan tanpa bicara pria itupun segera berlari lagi dari hadapanku.

Sejenak aku masih merasa bingung, saat ku perhatikan benda di pangkuanku adalah sebuah dompet. Mataku ku pun seketika terbelalak, perasaan tidak enak pun segera menggelayutiku...

Astaga...

Kemudian dari kejauhan samar aku bisa mendengar kerumunan orang tengah berlari dengan menyebutkan kata...

"HAIII... PENCURIIII JANGAN KABURRRR...!!!"

Teriak-teriakkan itupun terdengar makin jelas bersamaan dengan keringat dingin yang mulai mengucur di sekujur tubuhku.

Pasti tak ada kesempatan lagi untuk menjelaskan pada mereka bahwa bukan aku pencurinya. Alih-alih ingin menjelaskan pasti mereka malah akan menuduhku sebagai kawanan pencuri yang sedang mereka kejar saat ini.

Tanpa pikir panjang aku pun segera berlari untuk menghindari amukan warga yang bisa saja salah paham padaku. Gara-gara pencuri aslinya menyerahkan sebuah dompet kosong yang isinya sudah di ambil dan dia lemparkan padaku.

Sialan, dia yang enak, aku yang kena batunya.

Aku terus berlari tanpa henti hingga aku kelelahan dan tak sanggup lagi berlari, ku dengar di belakangku, para warga yang salah faham padaku masih terus mengejarku. Dalam keadaan terdesak seperti ini. Kebetulan ada sebuah mobil cukup mewah terparkir di dekat jalan yang ku lalui.

Saat aku mencoba membuka pintu mobil tersebut, tidak ku sangka terbuka, pemiliknya entah kenapa tak menguncinya, aku pun segera masuk ke dalam mobil untuk bersembunyi.

Aku berusaha merundukkan kepalaku saat suara langkah kaki para warga yang di iringi teriakan-teriakannya melewati mobil tempat ku bersembunyi.

"Sial, kita kehilangan jejak!" Teriak salah seorang warga, kemudian setelahnya menyuruh yang lain untuk berpencar.

Aku masih duduk diam bersembunyi dalam mobil saat pemilik mobil yang sedang ku tumpangi ini datang dan menatapku terkejut dengan keberadaan ku yang tiba-tiba sudah ada di dalam mobilnya.

"Siapa wanita ini?" Tanya seorang pria tampan berpenampilan eksekutif muda pada sopirnya yang kini sudah duduk di depan tepat di belakang kemudi. Dan sopirnya pun tampak bingung tak bisa menjawab.

Sedangkan aku juga masih mematung tak bisa berkata-kata apa-apa, sampai pada akhirnya teriakan para warga kembali terdengar mendekat. Akupun langsung reflek merundukkan kepalaku kembali dan tanpa sengaja tanganku menyentuh bagian terlarang milik pria tersebut.

Seketika mataku pun terbelalak.

Apa yang baru saja ku sentuh?

Lagi-lagi keringat dingin kembali mengucur dari tubuhku, bukan karena panik di kejar warga. Melainkan...

Apa yang baru saja aku lakukan? Ah... tangan suciku baru saja menyentuh sesuatu. Dan reaksi pria itu besar sekali. Ini sungguh memalukan.

"Kenapa masih bengong saja, belum puas merabanya?" Ujarnya kemudian seiring suara para warga yang sudah kembali menjauh. "Kalo belum teruskanlah!" Ujarnya lagi sambil menyeringai dengan wajah dinginnya.

Aku sungguh tak sengaja melakukannya, pria itu pasti akan mengira kalo aku adalah wanita penggoda. Dimana harus ku taruh mukaku, harga diriku...

Tidaaaakkkk..., aku harus segera pergi dari sini!

Tanpa banyak bicara lagi akupun segera ingin keluar dari mobilnya, tapi tak di sangka pria itupun malah mencekal tanganku, membuatku sangat terpaksa menatap ke arahnya.

"Kau jangan sa-lah fa-ham dulu tuan, tadi itu aku tidak sengaja!" Jelasku kemudian dengan suara terbata karena gugup.

"Sudah menikmati, malah mau langsung pergi!" Ujarnya kemudian dengan ekspresi datar.

Apa-apaan dia ini, justru karena dia tangan suci ku ini jadi ternodai.

"Sekali lagi maaf tuan, aku rasa semua ini hanya salah faham!" Jelasku lagi sambil berusaha tersenyum kilas, berharap dia akan meloloskan ku kali ini.

"Belum pernah ada yang merabanya sebelumnya!" Pernyataannya membuatku menganga dan membuatku jadi kesusahan menelan salavisaku.

Apa yang dia katakan? Apa sebenarnya yang dia inginkan?

"Sebagai yang pertama menyentuhnya, kau harus bertanggung jawab!" Ujarnya lagi yang seolah tahu apa yang sedang ku pikirkan.

"Tapi dari ekspresi wajahmu, kau sepertinya ingin kabur!" Lanjutnya dan lagi-lagi dia seolah tahu isi kepalaku.

Memang aku ingin kabur!

Bersambung.

Entah bagaimana ceritanya. Yang pasti aku berhasil kabur dari mobil pria yang berusaha menahan ku itu.

Tidak ku sangka hidup di kota begitu kejam, baru saja datang ke kota aku sudah banyak mendapat masalah, lalu bagaimana lagi aku menjalani hidupku setelah ini?

Baru segini saja aku sudah merasa tak sanggup. Dan diam-diam aku jadi merindukan rumahku yang ada di desa, merindukan ibu juga kakekku. Mereka saat ini pasti sedang panik mencariku, tapi jika aku kembali. Bearti aku harus siapa di jodohkan dan di nikahkan dengan Leo yang tak pernah lagi ku lihat wajahnya selama 17 tahun terakhir. Bahkan aku tak bisa mengingat rupanya dengan jelas saat itu.

Setelah berlari cukup jauh, sampailah aku menjejakkan kaki di sebuah pemukiman di pinggiran kota, perumahan nya sedikit rapat, bahkan hampir tak berjarak.

Dengan langkah terpaksa aku menyusuri gang sempit tersebut, banyak anak-anak kecil sedang berkumpul bermain disisi jalan, hingga akhirnya mataku tanpa sengaja jatuh pada sosok itu, sosok pencuri yang mengerjai ku tadi.

"Kau harus tanggung jawab!" Sergahku yang tiba-tiba sudah muncul di hadapannya. Bukanya merasa terkejut atau bersalah, dia malah terkekeh melihat ku.

Apanya yang lucu?

Tanggung jawab apa? Memangnya aku menghamilimu? Kita tidak saling kenal, jadi jangan sok kenal." Kurang ajar apa-apaan dia ini, berani-beraninya dia malah berkata demikian.

Tingkahnya yang tengil itu membuatku semakin gemas saja padanya. Ingin rasanya aku menebas lehernya dengan pedang kala itu juga. Terserahlah kalo aku terdengar berlebihan. Siapa suruh dia membuatku murka.

"Bukan itu maksudku, kau sudah membuatku di kejar warga, dan sudah menempatkanku pada situasi yang sulit!" Saat mengucapkan kalimat terakhirku, aku jadi teringat kejadian beberapa jam yang lalu saat di berada di mobil seorang pria.

Cih... memalukan sekali.

Ku pejamkan mataku erat-erat agar ingatan itu lenyap. Aku sungguh tidak ingin mengingatnya.

"Oh... Karena itu?" Sahut nya santai, ku rasa otak nya memang sudah tidak waras. "Jadi... kau ingin aku bertanggung jawab yang bagaimana?" Lanjutnya yang kini tiba-tiba menatapku dengan serius.

Benar juga apa katanya? Senak aku tampak berpikir, dan aku pun teringat sesuatu...

"Emm... aku baru datang ke kota ini, aku tak punya sodara ataupun kenalan, bisakah kau mencarikan tempat menginap untukku?" 

Tak ku sangka dia malah kembali terkekeh, membuatku jengah dan ingin langsung menghajarnya saja kalo aku bisa.

"Kenapa malah tertawa? Memangnya ada yang lucu?" Aku sudah sangat hilang kesabaran. Dia pikir sejak tadi itu yang bicara nya padanya itu badut apa? Hah....

"Tidak apa-apa, aku hanya heran saja, kenapa kau tiba-tiba bisa saja percaya dengan pencuri seperti ku? Apa kau tidak merasa takut aku akan macam-macam padamu? Kita kan baru saja kenal!" Jelasnya dengan masih menyisakan senyum di wajahnya.

Hem... Masuk akal, tapi aku juga tak punya pilihan lain. Tapi entah mengapa aku memiliki firasat bahwa pria di hadapan ku ini adalah orang baik.

"Entahlah, aku juga tidak tahu, aku hanya merasa kau sebenarnya bukanlah orang jahat!" Semoga saja kali ini aku benar, biasanya aku tidak pernah salah dalam menilai orang.

"Iwal...," panggil seseorang dari dalam rumah yang tampak sederhana itu, dan membuat kami terpaksa menghentikan percakapan kami.

"Iya Bu...," pria itu pun menyahut dan bergegas ingin masuk ke dalam rumah, "Sebentar ya? Ibuku memanggilku!" Ujarnya sambil berlalu dari hadapanku.

Diam-diam akupun mengikutinya dari belakang, turut masuk ke dalam rumah mereka.

"Nak, kau sedang bicara dengan siapa di luar?" Ku lihat wanita paruh baya dengan syal tebal terlilit di leher sedang bertanya pada pria tadi. Sepertinya itu ibunya.

"Maaf, jika aku lancang ikut masuk ke dalam rumah." Pandangan keduanya pun jadi teralih ke arah ku.

"Kau siapa? Kau teman dekatnya Iwal ya?" Tanya wanita paruh baya itu dengan ramah, senyum yang tersungging di bibir nya mengingat kan pada ibu. Membuatku jadi tiba-tiba merindukan beliau.

"Bukan, Bu, kami baru saja kenal tadi, aku bahkan belum tahu siapa namanya," jelas Iwal sambil membimbing ibunya untuk kembali duduk di sofa.

"Maaf kalau aku belum sempat memperkenalkan diri, namaku Marsya!" Kata ku sedikit ragu, ku lihat Iwal masih tampak sibuk membenarkan syal di leher ibu nya. Dia terlihat seperti pira baik-baik jika sedang seperti itu, sama seperti dugaanku. Pria itu terlihat sangat peduli pada ibu nya. 

"Aku Iwal, dan ini ibuku yang paling aku sayangi!" Dia melihat ke arah ibu nya seraya tersenyum hangat, dan ibunya juga balas tersenyum. Jelas sudah ia pasti pria baik, lalu yang jadi pertanyaan adalah, untuk apa dia mencuri?

 "Ibu, dia sedang mencari tempat untuk menginap, apakah ibu tidak keberatan jika dia menginap disini? Biar dia tidur dengan Nana saja di kamarnya." Jelasnya pada ibunya dan membuatku sedikit kaget. Aku tak menyangka jika pria itu akan menawarkan aku langsung untuk menginap di rumahnya. Lalu siapa Nana?

"Kakak aku pulang?" Tak lama kemudian seorang gadis kecil sekitar usia 10 tahun sudah tampak memasuki rumah.

"Ini adikku Nana, yang ku sebutkan tadi, kau bisa tidur di kamarnya nanti!" Iwal melangkah ke arah adik nya dan menyentuh kedua pundaknya. Gadis itu hanya menatap bingung ke arah ku dan Iwal secara bergantian. Ia bingung dengan kehadiranku di rumah mereka.

"Ya... ibu juga tidak keberatan kok kalo Nak Marsya menginap disini, rumah ini pasti jadi ramai kalo di tambah satu anggota keluarga lagi," Pernyataan ibu nya Iwal membuat ku lega sekaligus merasa terharu, ku lihat rumah mereka sangat sederhana, tidak jauh beda dari rumah ku yang ada di desa, namun hati mereka luar biasa, mau menampung ku yang bukan siapa-siaoa mereka. Ternyata di kota yang ku kira kejam ini, masih ada orang-orang baik dan berhati tulus. 

"Kak Marsya nanti bisa tidur di kamar Nana." Bahkan gadis kecil itu kini turut tersenyum pada ku, seolah tak ada kecanggungan lagi di antara kami.

Obrolan kami berlanjut sebentar sebelum akhirnya aku dan Iwal pamit untuk kembali ke teras dan ingin mengobrol berdua saja.

"Keluargamu sungguh manis," kataku sambil tersenyum dan ku lihat wajah pria yang kini duduk di sebelahku malah terlihat sendu. Seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Kerena baru kenal aku jadi tak berani untuk menanyakan masalah apa yang sebenarnya tengah di hadapinya.

"Terimakasih, aku sangat menyayangi mereka, tapi aku payah, sama sekali belum bisa membahagiakan mereka," akhirnya ia mau membuka suara, ada kepiluan di balik kalimat nya. 

"Tapi kenapa kau memilih untuk menjadi pencuri?" Tanyaku ragu-ragu dan membuatnya langsung terkesiap.

"Tolong pelankan suaramu!" Ia langsung menatap ke dalam rumah. Seolah takut perkataan ku tadi di dengar oleh keluarganya.

"Maaf...," aku menepuk bibir ku sendiri pelan, menyadari kebodohan ku.

"Ikut aku, aku akan ceritakan di tempat lain, bukan disini!" Ia bergegas berdiri dan segera meraih jaket yang tergeletak di sisinya. 

"Kita mau kemana?"

 "Ke suatu tempat!"

Bersambung.

Dengan mengendarai motor metik milik Iwal, kami sampai di suatu tempat. Aku langsung terpukau melihat pemandangan yang terhampar di hadapan kami. Danau yang cukup luas, air yang tenang, serta hembusan angin yang berasal dari pepohonan rimbun, sangat sejuk sekaligus menenang kan. 

Di sana juga terdapat bangku-bangku panjang yang di letakkan di sepanjang pinggiran danau. Dan kami memilih duduk di salah satunya.

"Aku terpaksa mencuri untuk membiayai sekolah adikku dan ibuku yang belakangan ini mulai sakit-sakitan...," Iwal memulai ceritanya dengan tatapan kosong menerawang ke arah danau.

Aku memilih diam dan mendengarkan, tak ingin mengajukan pertanyaan ataupun tanggapan, sambil menunggu kelanjutan ceritanya. 

"Aku ini adalah anak laki-laki yang sangat payah dalam keluarga!" Ia tersenyum kecut, seolah mengejek pada dirinya sendiri.

"Tapi ku lihat kau bukan orang yang seperti itu, kau terlihat begitu peduli pada keluargamu!" Aku memberanikan diri membuka suara, mencoba mengatakan kenyataan yang sempat ku lihat, jadi ini bukan lah sekedar omong kosong hanya untuk membesarkan hatinya, sungguh, aku bukan orang yang seperti itu.

"Aku sebenarnya bekerja sebagai office boy di sebuah gedung perkantoran. Tentu saja gaji disana tidak cukup untuk membiayai hidup kami sekeluarga, untuk itu aku mencari tambahan dengan mencuri," lanjutnya dan sekarang rasa penasaran yang ku pend sendiri sejak tadi terjawab sudah, jadi inilah alasannya menjadi seorang pencuri?

"Memangnya ayah kalian dimana?" Sejenak aku menyesali pertanyaanku, itu mulut kenapa susah sekali untuk di kontrol? Bagaimana kalo dia tersinggung?

Ayah kandungku sudah lama meninggal, kemudian ibuku menikah lagi dengan seorang pria dan memiliki seorang anak yaitu Nana, adik perempuanku yang tadi, dan Ayah tiriku itu ternyata bukanlah orang yang bertanggung jawab, sudah beberapa tahun belakangan ini dia jarang pulang ke rumah kami, entahlah apa yang pria itu kerjakan di luaran sana!" Cerita nya kali ini tiba-tiba membuat dadaku mendadak terasa panas, aku jadi teringat akan kisah yang di ceritakan oleh ibuku, beliau menceritakan kalo Ayah ku telah tega meninggalkan kami sejak bahkan aku masih ada di dalam kandungan.

Aku tidak tahu bagaimana cara menghibur nya, "aku turut prihatin mendengarnya." Aku hanya berusaha mengutarakan rasa empati ku.

"Dan kau sendiri, apa tujuanmu pergi ke kota?" Tiba-tiba Iwal balik bertanya dan membuatku langsung gelagapan tidak tahu harus menjawab apa, aku tak mungkin mengatakan masalah ku yang sebenarnya  padanya kan? Kalo aku lari karena sedang menghindari perjodohan dengan seorang pria kaya yang mungkin juga tampan.

"Aku, sedang ingin mencari pekerjaan dan mencari pengalaman baru di kota!" Entah dari mana alasan itu terlintas di kepalaku, aku hanya berharap alasan ku itu masuk akal.

Untuk saat ini aku memang tak berniat menceritakan masalah ku pada siapapun, dan terlebih lagi aku terbiasa memendamnya sendiri, karena tidak ada yang bisa ku percaya selain diriku sendiri.

"Apa kau mau bekerja bersamaku jadi ofice boy, Ya..., itu kalo kau mau sih...." Tawar nya yang membuat matabku seketika berbinar.

"Aku mau!" Aku sungguh tak ingin kehilangan kesempatan, mungkin dengan begini aku jadi bisa bertahan hidup di kota yang asing ini.

Ku lihat dahi Iwal mengeriyit, mungkin dia heran kenapa aku begitu antusias. "Tapi disana gajinya tidak seberapa, aku tidak yakin kau betah, Ah..., aku menyesal menawarimu tadi...!" 

"Kenapa? Aku tidak masalah gajinya kecil, yang penting aku bisa bekerja dan tidak merepotkan orang lain," Tanyaku seraya menjelaskan.

"Bukan itu maksudku, aku lupa kalo disana sebenarnya hanya butuh Office boy pria saja, tidak ada Office Girl. Aku lupa mengatakannya padamu, aku jadi enak menawarimu tadi " Matanya menatapku dengan tatapan bersalah.

Oh jadi itu masalahnya? 

Aku jadi terpaksa memutar otak, dan Iwal tampak menunggu. "Aha...!"  Detik berikut nya aku berseru antusias, membuat mata Iwal ikut terkejut. "Bagaimana kalo aku pura-pura jadi pria saja?" Mungkin ini kedengaran ide konyol, tapi hanya itu yang terlintas di kepalaku.

"Apa kau yakin?" Iwal menatapku tak percaya, "maksud nya kau ingin menyamar jadi seorang pria?" Ia juga berusaha memperjelas maksud ucapanku.

Aku mengangguk penuh semangat, aku tahu ini mungkin kedengarannya gila, tapi segala sesuatunya bisa di coba kan? Dengan begitu juga aku jadi bisa terhindar dari godaan para pria hidung belang.

"Ya, tentu saja aku yakin, aku melakukan ini untuk menjaga diriku juga, aku tidak ingin menemui banyak masalah saat menjadi seorang wanita, aku tidak ingin pria-pria tak bermoral menggodaku, itu sebabnya, lebih baik aku menyamar saja menjadi pria!" Akhirnya aku utarakan saja apa yang ada di pikiranku pada Iwal, kemudian pria dengan wajah lumayan tampan itu mengangguk berusaha mengerti maksudku.

"Ya, penting kau nyaman, lagi pula ide mu ada benarnya juga, pasti sangat berbahaya untuk wanita secantik dirimu jika masih berpenampilan wanita di tempat yang asing seperti ini, sendirian pula, aku juga tidak bisa selalu menjagamu kan?" 

Ah... Kenapa aku jadi tersipu malu saat dia berkata demikian? Apa kata nya tadi? Aku cantik. Rasanya aku jadi ingin senyum-senyum sendiri sepanjang hari.

Ah... Tidak, apa-apaan aku ini? Jelas aku bukan wanita yang mudah tergoda dengan perkataan manis dari pria. Tanpa sadar ku pukul kepaku sendiri pelan.

"Hei... Kau itu kenapa?"

Rasa nya akunmslu sekali saat Iwal memergoki tingkah konyol ku. "Ah... Tidak apa-apa, aku tadi cuma teringat akan sesuatu, itu saja," kata ku beralasan, semoga dia tidak lanjut bertanya, yangbtadi itu memalukan sekali. Tak hentinya aku mengutuk diriku sendiri.

Ah.... Dasar bodoh.

"Jadi, mulai besok, aku boleh ikut kerja bersamamu?" Aku mencoba mengalihkan perhatian. 

Dan juga aku jadi tidak sabar menunggu hari esok, mungkin itu akan menjadi pengalaman ku kerja di kota, meski 0un hanya menjadi seorang office boy. Selama ini akunhanya bekerja menjadi guru les anak-anak di desa.

"Tentu saja," jawabannya sungguh-sunguh membuatku merasa senang.

***

Keesokan paginya,

 Matahari sudah mulai meninggi saat aku dan Iwal sudah tiba di sebuah gedung perkantoran. Dan penampilanku pun sudah tampak jauh berbeda, aku mengenakan baju milik Iwal, bajunya tampak longgar di badanku, hingga bisa menutupi bagian tubuhku yang tampak seperti wanita. Bahkan tadi Nana adiknya Iwal sempat mengira aku pria sungguhan. Aku jadi terkekeh sendiri mengingat hal itu.

"Ayo masuk, nanti aku antar kau ke bagian HRD untuk interview, palingan itu juga cuma buat formalitas saja, tenang saja, kau pasti langsung di terima, karena kemarin kepala OB sudah berpesan padaku untuk mencarikan orang, jadi sudah pasti kau di terima!" Ujar Iwal sambil menepuk pundak ku pelan. Sepertinya dia tahu kalo aku sedang di serang rasa gugup.

"Ayo!" Ajaknya lagi sambil menatap mantap ke arahku dan aku pun mengangguk, lalu kami pun sama-sama melangkah masuk ke loby kantor.

Aku berjalan selangkah di belakang nya, mataku tak hentinya menatap takjub ke sekeliling ruangan loby kantor yang tampak luas dan megah. Anggap saja aku kampungan. Karena jujur aku baru pertama kali melihat tempat seperti ini, biasanya aku hanya bisa melihat lewat layar televisi saja.

Saat aku dan Iwal mengantar di lift khusus karyawan, aku kembali melihat pria itu. Pria yang kemarin ada di mobil bersamaku, dia sedang berdiri tepat di depan Lift khusus para petinggi kantor.

Astaga... Tak bisa ku sembunyikan rasa terkejut ku.

Akupun segera memalingkan wajahku, berharap pria itu tak mengenali penampilanku yang baru.

BERSAMBUNG